12. Aira

58 1 0
                                    

"Sebenarnya aku masih bimbang mengapa aku selalu dibedakan?"

Aira—

***

Kak Andi sangat berani menatap ayah sekarang. "Apa pendidikan tinggi menandakan bahwa etika seseorang itu baik? Apakah pendidikan tinggi itu menandakan bahwa dia jauh lebih baik dibandingkan dengan orang yang tidak berpendidikan?" cercah kak Andi nahas membuat napas ayah memburu. 

Ayah menunjuk dada kak Andi. "Kamu tau apa tentang cara mendidik anak?! Ayah sama Ibu sudah berhasil mendidik kamu menjadi anak yang mampu membanggakan keluarga." Ayah tidak terima hingga akhirnya membentak kak Andi. 

Kak Andi memejamkan mata sejenak. "Andi memang bukan psikologi. Bukan mitra ekspresi, tapi sebagai laki-laki sekaligus seorang kakak... Andi tau bagaimana perasaan Aira saat Ayah sama Ibu terus membedakannya dan bilang kalo Ayu dan Andi lebih baik," terang kak Andi amat tegas.

"Nyatanya memang seperti itu! Ayah sama Ibu jauh lebih tau apa yang harus dilakukan pada Aira," jawab ayah tegas hingga menunjuk-nunjuk ke arahku. 

"Kalo gak kayak gini, Aira selalu membuat malu Ibu. Mos kemarin hampir kacau karena Aira yang paling sering kena hukuman dan buat onar," jelas ibu ikut menimbrung.

"Buka mata kamu lebar-lebar, Ndi. Aira itu gak pernah bikin ibu sama ayah bangga. Dia selalu bikin kita semua terbebani, bahkan malu," ucap kak Ayu nyaris dengan emosi.

Air mataku semakin luruh tak terbendung. Lantas langit berubah redum, bahkan mendung datang tanpa memberitahukan dengan tanda-tandanya. Selaras dengan hati yang makin gundah gelebah. Badan yang sedang lemah semakin lemah, hati yang sakit pun kini lebih sakit. Banyak sekali perbedaan antara aku, kak Ayu dan kak Andi. Nyatanya hubungan darah kami seperti sebuah formalitas belaka saja.

"Dari dulu kamu tidak pernah menjawab perkataan saat Ayah sedang marah! Lantas apa yang sudah kamu lakukan sekarang? Nyatanya Ayah juga gagal mendidik kamu menjadi orang yang berpendidikan layak," marah ayah sambil menunjuk wajah kak Andi yang tak henti menatap ayah datar.

"Andi kayak gini karena punya hati," jelas kak Andi datar.

Ayah terlihat menahan emosi besar supaya tidak meluapkannya pada kak Andi. Semarah-marahnya ayah atau ibu pada kak Andi mereka tidak pernah berani berkata lain selain membentak—sesekali. Ayah malah beralih menghadap ke arahku. Aku tak henti menangis dan menunduk menghindari tatapan nyalang ayah, ibu serta kak ayu.

"Ayah, kan, sudah bilang jangan ikut campur urusan keluarga. Tugas kamu cuma belajar supaya otak kamu itu pintar Aira!" geram ayah.

"Ma—afin Aira, Ayah," cicitku takut. 

Aku memalingkan wajah saat tangan ayah tiba-tiba melayang ke arah wajahku. Lantas setelah beberapa detik tak ada sentuhan, aku memberanikan diri menoleh ke arah ayah. Ternyata kak Andi dengan sigap mencekal kuat tangan ayah yang hendak menampar pipiku. Ayah dan kak Andi saling menatap tajam, sedangkan ibu serta kak ayu membekap mulut karena terkejut.

"Kak Andi," lirihku membuat kak Andi menoleh.

Kak Andi menghempaskan tangan ayah. "Andi itu anak laki-laki. Mungkin saat masih kecil akan diam kalo Andi liat Aira dipukul walau sekali sama ayah atau ibu, karena Andi belum berani melawan. Tapi sekarang Andi udah dewasa, sudah tau apa yang benar," terang kak Andi memekik tegas. 

Napas ayah memburu. "Kamu melakukan hal ini sama Ayah sama saja kamu juga ingin diperlakukan seperti Aira—" Ucapan ayah terpotong oleh sergahan kak Andi. 

"Kalo memang Ayah, ibu dan kak Ayu bisa memperlakukan Andi selayaknya kalian sama Aira. Kenapa gak dilakukan biar tidak ada perbedaan di antara kami? Karena sejatinya kami sama lahir dari rahim ibu, dikandung sembilan bulan," sergah kak Andi nyalang.

Aira'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang