"Elusan lembutmu dulu, masih membekas di benak. Seakan memberitahukan bahwa kau masih menyayangiku sebagai seorang anak."
Aira—
***
Upacara bendera siang tengah dilaksanakan untuk penutupan kegiatan Mos yang telah berhasil dilaksanakan dalam waktu satu minggu ini. Berdiri di antara barisan paling depan mengharuskan aku untuk bersikap sempurna tanpa menambah gerakan lain. Mendengarkan ibu yang sedang berbicara di depan karena menjadi pembina upacara juga salah satu penyebab aku untuk tetap taat.
"Terima kasih anak-anak. Berkat kalian semua Mos tahun ini berjalan lancar walau kemarin ada sedikit kendala tapi tak apa, yang penting kalian tetap menjadi anak berprestasi dan mampu membanggakan orang tua serta sekolah. Ibu lihat kalian ini adalah anak-anak pintar yang sekolah harapkan." Mungkin juga ibu tengah menyindirku.
Aku rela mendengar semua perkataan ayah dan ibu yang akan membuat hati ini sakit. Sebenarnya badanku semakin tidak enak, namun tak berani berbicara pada siapapun. Mata sudah berkunang-kunang, dada sesak, tenggorokan sakit dan kepala pusing yang akhirnya membuat aku ambruk tak mampu bertahan sampai upacara selesai.
Sebelum benar-benar hilang kesadaran aku melihat semua orang mengerubungi dan yang paling depan adalah Indro, Ibu dan Ridwan. Saat mata benar-benar ingin menutup kurasakan tubuh melayang. Samar-samar wajah Ridwan sangat dekat dengan wajahku.
Setelah itu tidak ada lagi yang kurasakan sampai saat membuka mata, aku sudah berada di UKS. Sambil mengucek mata agar penglihatan semakin jelas, terlihat Ridwan tengah bermain ponsel di bangku dekat pintu. Aku meringsut duduk barulah Ridwan menyadari. Dia buru-buru memindahkan kursinya ke samping ranjang tempatku.
"Kamu udah enakan?" tanya dia.
Aku mengangguk pelan. "Udah."
"Kamu demam. Tadinya aku mau bawa kamu ke rumah sakit, cuma bu Adila melarang karena katanya kamu kalo sakit cuma butuh istirahat cukup," jelas Ridwan yang membuat aku membisu.
Mata pun terasa perih setelah mendengarnya. Mengapa ibu seperti tak peduli dengan kondisiku.
Ridwan menyentuh tanganku. "Kamu gak pa-pa?" tanya dia yang menyadari aku terdiam.
Aku menggeleng sambil menyeka air mata yang akan luruh. "Gak pa-pa. Aku emang cuma butuh istirahat yang cukup aja, Kak."
Ridwan seperti tak percaya sepenuhnya. "Tapi kayaknya kamu butuh ke rumah sakit, deh. Soalnya muka kamu pucat banget," ucap dia sambil terus memandangi wajahku.
"Gak usah, Kak aku mau pulang. Ibu nyuruh aku pulang cepet," ucapku yang hendak turun dari ranjang namun Ridwan mencegah.
"Sekolah baru bubar sepuluh menit lalu. Memangnya bu Adila gak bareng sama kamu?" tanya Ridwan yang membuat aku tegang.
"Gak," jawabku singkat.
Ridwan seperti kaget dengan responku. "Ya udah, biar aku anter pulang," tawar Ridwan yang aku balas gelengan kepala.
"Kenapa? Lumayan gak akan sesak kayak naik angkot," ujarnya.
"Terserah saya mau pulang naik apa yang penting saya tenang," ketusku.
"Maksudnya?" tanya Ridwan.
Aku sudah berjalan satu langkah. "Kamu gak tau kehidupan aku bagaimana. Jadi, jangan pernah dekat sama aku tanpa ada hal penting atau keperluan mengenai sekolah," jelasku tanpa melirik.
"Apa salahnya aku menolong kamu. Sudah tugas aku sebagai ketua osis untuk bertanggung jawab."
"Aku tau. Tapi selain itu jangan pernah dekat dengan aku." Aku lihat ekspresi wajah Ridwan yang terkejut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aira's
Ficção AdolescenteBukan kisah cinta yang berawal bahagia lantas terluka. Tapi kisah lara tentang orang tua yang amat ambisius mengejar harapan hingga menyakiti perasaan. Berbagai siloka menjadi jalan cerita. Berbagai diksi menjadi arti hidup ini. Berbagai lantunan s...