“Hubungan karena taruhan memang menyakitkan.”
—Tania
***
Untuk pertama kalinya Aira mengantri di kantin sekolah. Berdiri di antara anak-anak pintar yang terus fokus membaca buku walau suasana sedang ramai seperti ini.
Aira mengembuskan napas panjang saat menoleh ke arah kanan yang terdapat Indro serta teman-teman barunya. Sudah lama sekali Aira tidak saling sapa dengan Indro bahkan bertemu pun seperti orang asing.
Aira tersenyum kecut ke arah Indro tanpa sang empu ketahui. Nahas, walau Aira tidak tau sebab mengapa Indro menjauhinya karena sampai kapan pun Aira tidak akan pernah percaya dengan alasan Indro yang berkata, "Aku sama kamu itu gak cocok untuk jadi teman bahkan sahabat!" Jika tidak cocok mengapa mereka mampu bertahan sebagai sahabat dari kecil sebelum akhirnya seperti ini?
Aira terkekeh sendu seraya maju satu langkah dan mengambil pesanannya dan berkata, "Terima kasih Bu!" Aira lantas duduk sendirian dan membuka novel pemberian Ridwan waktu itu.
Sudah satu novel berhasil Aira baca tanpa sepengetahuan siapapun dan Aira akan membaca novel keduanya hingga seterusnya. Lelah hayati, Aira baru saja selesai melaksanakan pelatihan ekstrakulikuker Sastra dan Budaya bersama Salama dan Bu Ina untuk lomba bulan depan yang sudah memasuki hitungan hari.
Bu Ina dan Salama sangat senang ketika Aira menerima tawarannya untuk mengisi lomba bulan depan. Bu Ina begitu antusias mengajari Aira di sela waktu jam kosong. Bu Ina dan Salama juga berencana untuk selalu membuat Aira bahagia hingga gadis itu menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya.
Bukan tanpa alasan pula Aira pergi ke kantin dan menikmati makan siangnya ditemani novel yang Aira idamkan. "Astaga! Ceritanya bagus banget. Emang kak Ridwan pinter banget pilih novel," gumam Aira yang hanya didengarnya.
Setelah memberikan novel pada Aira Ridwan selalu datang ke rumah Aira dengan dalih les pada ibu untuk olimpiade bulan depan padahal hanya ingin memperhatikan Aira yang selalu ada di area dapur rumah.
Seperti kemarin, Ridwan datang menjelang malam dan memulai semuanya bersama ibu. Tapi ketika Aira turun ke dapur setelah pekerjaan yang lain selesai justru fokus Ridwan malah terganggu akibat terus memperhatikan gerak dan gerik Aira.
Untungnya setelah Ridwan mendengar Aira yang dihukum ayah kala pertama kali datang, Ridwan tak melihat Aira yang dihukum lagi hanya selalu dibentak dan disuruh segala hal yang membuat Ridwan geram.
"Aira bawakan minum dan cemilan buat Ibu, cepat!" perintah ibu di samping Ridwan yang tengah mengerjakan soal.
Ingin sekali bibir Ridwan terbuka untuk membentak bu Adila agar berhenti menyuruh Aira. Namun, nyalinya tak cukup untuk melakukan hal itu.
Hanya geram serta kekesalan yang harus ia kubur dalam-dalam. "Aira cepat masak! Sebentar lagi Ayu pulang." Bukan dengan nada lembut melainkan nada tegas yang terkesan menyakitkan.
Ridwan hanya mampu diam selagi tidak ada tangan yang melukai fisik Aira. Toh, Ridwan tidak mampu untuk menghadang luka pada hati Aira.
Dari sudut matanya Ridwan dapat melihat Aira yang kelelahan. Bahkan, gadis itu terus mengelap keringat piluh pada wajahnya. Lantas bibirnya yang nampak pucat membuat tangan gadis itu tak henti memijat kepala.
Ridwan ingin bangkit dari duduknya dan membawa Aira istirahat ke kamar. Tapi lagi-lagi Ridwan bukan siapa-siapa di rumah ini. Hanya tamu asing yang berniat menjaga dan menolong walau tidak kunjung bisa dilakukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aira's
Teen FictionBukan kisah cinta yang berawal bahagia lantas terluka. Tapi kisah lara tentang orang tua yang amat ambisius mengejar harapan hingga menyakiti perasaan. Berbagai siloka menjadi jalan cerita. Berbagai diksi menjadi arti hidup ini. Berbagai lantunan s...