"Anakmu punya sinar bintang di langitnya masing-masing. Percayalah saat kamu membedakannya sama saja kamu sudah menorehkan luka di hati kecilnya."
***
Anak ketiga dari tiga bersaudara, yaitulah aku. Terlahir sebagai anak perempuan yang selalu dituntut untuk tegar dan kuat. Mungkin secara fisik perempuan selalu dinilai lemah, tapi secara hati perempuan selalu kuat walau terluka, meski tak semua.
Seperti aku. Saat kecil memang menjadi kesayangan kedua orang tua. Apa pun yang aku inginkan selalu terpenuhi. Namun, beranjak remaja semua itu menjadi sulit didapatkan bahkan mungkin tidak akan pernah didapatkan kembali, entah karena aku bodoh, mungkin.
Kedua kakakku itu pintar, berprestasi, selalu menjadi kebanggaan keluarga sejak dini. Mereka bahkan mendapatkan beasiswa kuliah di luar kota. Sedangkan aku yang baru menginjak kelas 1 SMA mendaftar pun sangat sulit karena nilai yang sangat rendah.
Kata ayah, kebodohanku terlihat saat baru masuk sekolah dasar. Aku yang sulit mengenal huruf, tanda baca, dan angka. Apapun itu, aku selalu telat dalam berpikir. Jika tidak bisa malah menangis bukan berusaha seperti kedua kakakku. Mereka tidak cengeng seperti dan mereka ceria. Sejak kecil mereka tidak pernah menangis karena perkataan ayah.
Kakak pertamaku bernama Ayunda Laraspati. Sekarang dia kuliah di Bandung dan mengambil jurusan Ilmu Kedokteran. Umurnya baru menginjak 20 tahun. Namun, karena kegigihannya dia nyaris menyelesaikan S1-nya.
Kakak keduaku bernama Andika Suar Harsa. Sekarang dia kuliah di Yogyakarta, yang sama pula dengan kak Ayunda mengambil Ilmu Kedokteran. Umurnya baru 19 tahun namun karena kepintarannya kak Andika sudah hampir menyelesaikan S1-nya. Hebat bukan.
Lalu namaku? Ya, namaku Aira Widya Husein yang sekarang baru berumur 15 tahun. Tadi sudah sedikit dijelaskan sebagian dari kisahku. Kalo mau tau secara keseluruhan baca saja cerita ini.
Nama ayah Adam Husein. Umurnya baru 45 tahun. Ayah itu terkenal dengan kepintarannya dalam ilmu matematika. Beliau berpropesi sebagai dosen di salah satu kampus swasta daerah Cianjur, tempat tinggal kami sekarang. Makanya tidak heran dua dari tiga anaknya memiliki IQ di atas rata-rata.
Terakhir nama ibu adalah Adila Fardilla. Umurnya baru 42 tahun. Ibu juga dikenal karena kepintarannya dalam ilmu fisika dan kimia. Ibu berpropesi sebagai guru di SMA Nusa Bakti, tempat sekolahku sekarang.
Aku tidak tahu mengapa telah mendahulukan nama kakakku dibandingkan nama ayah dan ibu. Sudahlah aku sendiri bingung, yang jelas itu adalah sebagian daripada keluarga 5A.
Terlalu asik bercerita hingga lupa bahwa aku tengah dihukum untuk menghormat bendera sampai jam pulang nanti.
Ibuku memang guru di sini, tapi saat melihat anaknya dihukum dia sama sekali tidak peduli dan malah berkata, "Makanya jadi anak itu harus pintar, biar pas ditanya bisa jawab."
Emm … itu salah satu perkataan ibu yang selalu dia ucapkan ketika aku telat dalam menjawab pertanyaan. Terkadang aku menangis mendengarnya. Sungguh, semuanya terkesan sederhana tapi sebenarnya sangat menyakitkan.
Tapi tidak mungkin di tengah lapangan ini aku akan menangis, dan akhirnya memilih untuk sekedar tersenyum kecut. Apalagi saat melihat ibu pergi begitu saja.
Aku itu belum sarapan pagi karena bangun siang. Bahkan ibu meninggalkan aku sendiri di rumah, untungnya aku datang lima menit sebelum bel berbunyi.
Aku pikir masa orientasi sekolah ini akan mudah seperti dulu saat masuk SMP. Namun ternyata sulit bagiku. Mengapa? Karena hampir setiap acara akan ada soal yang diberikan kakak osisnya. Itu membuat aku stres sebagai orang bodoh.
Sudah terprediksi. Efek mata berkunang-kunang pasti disebabkan belum sarapan, dan hal itu sedang aku alami sekarang. Memang, ya, orang bodoh itu selalu tersiksa. Selalu dicap salah padahal bisa jadi benar, selalu dicap jelek padahal yang dilakukan baik. Hidup itu ibarat bunga mawar, makin mekar makin diincar.
Hidupku itu keras seperti batu yang gak mungkin bisa berubah lembek. Mengapa? Lihat saja sekarang di saat aku makin tersiksa akibat matahari yang terlalu menyorot terik semua orang seakan enggan menolong.
Akhirnya setelah beberapa saat menahan, nyatanya rasa itu tidak dapat ditahan lebih lama. Hingga pada akhirnya aku hilang kesadaran.
Brak …
***
Lantas yang aku dengar sekarang hanya suara gaduh dua orang. Mereka tengah mengobrol ringan membicarakan hal yang tidak aku mengerti sama sekali. Iya, aku, kan, orang bodoh mana mengerti topik pembicaraan manusia cerdas.
Ruang hampa bernuansa putih ini baru aku masuki. Seperti rumah sakit, tapi bukan. Lebih tepatnya klinik sekolah atau biasa disebut UKS.
Saat mataku baru saja terbuka suara ibu sudah terdengar di indra pendengaran ini. "Bagus! Kamu itu telat dalam berpikir, tapi setiap pagi tidak mau sarapan. Mau bodoh selamanya?!" Bukan ibu namanya kalo tidak membentak saat berbicara denganku.
Aku mengerjap sekali lagi. Ternyata yang bersama ibu adalah ketua osis di sini. Ibu bahkan tidak segan berbicara seperti itu di depan dia. Bukan malu karena dia laki-laki, hanya saja mengapa ibu sangat ingin semua orang tau bahwa aku ini anak bodoh.
"Tadi Aira bangun kesiangan, Bu," jawabku lemah dan berangsur duduk tanpa berani menatap manik ibu.
"Kesiangan? Bagus. Ibu sudah bangunkan kamu dari jam lima pagi." Ibu bersedekap di sampingku.
Aku menunduk lesu. "Maaf, Bu," lirihku.
Ketua osis itu mungkin merasa tidak enak melihat suasana ini, lagian siapa yang mau dijadikan saksi atas argumentasi keluarga kalo bukan keluarganya sendiri. Lantas ia lebih memilih untuk pergi. "Permisi, Bu Dila. Saya izin keluar untuk mengurus anak-anak lagi," pamitnya.
Ibu menoleh dan tersenyum simpul. Senyuman yang belum pernah aku dapatkan sejak saat itu. "Iya, Rid. Silakan," jawab ibu yang diangguki ketua osis tersebut.
Ibu kembali menatap ke arah ku. "Dasar anak bodoh tidak tau diri. Contoh kakak-kakakmu, mereka tidak pernah bangun kesiangan padahal belajar sampai tengah malam. Kamu belajar tidak, setiap malam yang kamu lakukan hanya bermain ponsel tidak jelas." Apa lagi yang mampu ibu katakan di depanku selain membandingkan ketiga anaknya.
Hatiku kembali sesak mendengar perkataan ibu. Mengapa setiap aku berbuat salah ibu selalu bilang bahwa kak Ayu dan kak Andi lebih baik dibandingkan aku?
Bukannya orang tua tak semestinya berbicara soal perbedaan anak-anaknya? Boleh aku bertanya? Apa di antara kalian ada yang mampu menahan isak tangis kala dibandingkan? Jika ada aku tidak bisa seperti kalian. Di saat aku dibandingkan maka aku akan menangis walau dalam diam, akan berteriak walau tanpa suara.
Mengapa? Percuma menangis di antara ribuan mata jika tidak pernah dipedulikan. Percuma berteriak jika tak dihiraukan. Semua tetap sunyi dan sepi tanpa sandaran bahu yang kokoh. Tetap lara sebab tak ada yang peduli mengenai rasa dan isi hati kita.
Mengapa aku dibedakan? Itu yang hanya bisa kuutarakan dalam catatan harian.
***
Tbc...
KAMU SEDANG MEMBACA
Aira's
Fiksi RemajaBukan kisah cinta yang berawal bahagia lantas terluka. Tapi kisah lara tentang orang tua yang amat ambisius mengejar harapan hingga menyakiti perasaan. Berbagai siloka menjadi jalan cerita. Berbagai diksi menjadi arti hidup ini. Berbagai lantunan s...