37. Aira

33 0 0
                                    

“Sungguh dari relung hati paling dalam, aku sangat ingin menolongmu.”

—Ridwan 

***

Ridwan duduk di balkon kamarnya seraya melihat bintang yang bersinar terang malam ini. Sekepulangannya dari rumah bu Adila, miris, hatinya benar-benar gundah mendengar rintihan pilu Aira. Gadis kecil itu harus menangis lara akibat emosi ayahnya sebab pulang terlambat. 

Ridwan beberapa kali harus memejamkan matanya saat itu sebab tak tahan mendengar suara tangis Aira walau samar dari arah belakang rumah. "Aira," gumamnya sendu. 

Lantas Ridwan melihat layar ponselnya yang tertera foto Aira yang ia ambil secara diam-diam saat di aula. "Aku berharap kehidupan kamu yang sebenarnya tak seperti kak May dulu!" Ridwan memejamkan matanya lantas berkelana pada kisah mediang kakaknya dulu yang harus mendapatkan siksaan fisik maupun batin dari kedua orang tuanya yang sekarang telah menelan pahitnya penyesalan. 

Mata Ridwan seketika terbuka lebar saat suara dering ponselnya berbunyi nyaring. "Astaga!" Ridwan mengumpat kala melihat nama yang tertera jelas di layar tersebut. 

Enggan sekali tangannya memencet tombol hijau hingga akhirnya memilih tombol merah. "Buat apa dia nelpon gue?" Ridwan memasang wajah malas lantas menopang beban tubuhnya pada pembatas balkon. 

Namun, kembali lagi deringnya berbunyi nyaring hingga ia harus menahan kekesalannya dan membanting ponselnya ke sopa. "Sampai kapan pun gue gak akan pernah mencintai Tania!" ujarnya tanpa mengangkat telpon. 

Ridwan memijat kepala pusing. Mengapa ia harus berurusan dengan perempuan macam Tania, yang selalu mengekang bahkan mengatur segala hal yang ingin Ridwan lakukan. Ridwan menjabak rambut frustasi seraya berteriak. 

Ridwan melihat ponselnya yang tak lagi berdering hingga akhirnya mengembuskan napas panjang. "Tapi gue juga menyakiti perasaan Tania," gumamnya menyesal. Namun, ia harus bagaimana lagi sekarang? Melanjutkan hubungan hanya akan menyiksa kedua perasaan lantas ia harus mengubur rasa keinginan tahuannya terhadap Aira. Iya, Airalah yang kini memenuhi benak serta hatinya. 

Sejak pertemuan pertama hingga ia melihat bagaimana sendunya hidup Aira yang selalu menerima hukuman dari bu Adila membuatnya ingin sekali menjaga gadis itu walau Aira sama sekali tidak menjawab niatnya. 

Namun, Ridwan selalu mengingat kata Aira yang sepertinya tidak ingin membuat Ridwan menjaganya. "Jangan pernah dekat dengan aku selain urusan sekolah!" 

Ridwan menggeram kesal ketika mengingat Tania. Ridwan sama sekali tidak mencintai gadis itu, namun Ridwan iba ketika harus memutuskan hubungan sepihak. "Shit!" Ridwan mengumpat seraya mengambil ponselnya dan buru-buru pergi dari balkon entah ke mana. 

***

Ketika malam telah larut barulah kak Andi muncul dari balik pintu utama dengan wajah kusut serta mata lelahnya. Hari ini sangat melelahkan baginya hingga harus pulang larut malam. 

Sejujurnya sejak tadi sore kak Andi tidak enak hati dan tiba-tiba mengingat Aira di rumah. Takut-takut gadis itu kembali dihukum ayah sebab itu adalah hobi ayah. Namun, baru saja memikirkan hal itu kak Andi sudah dibuat menggeram dan seketika rasa lelahnya pun hilang. 

Sudah malam seperti ini Aira masih menyetrika bahkan dalam jumlah banyak. Lantas dari samping kak Andi lihat ada sedikit memar di pipi adiknya lantas Aira seperti sedang menangis. 

Napas kak Andi memburu kencang lantas menengadah ke penjuru rumahnya yang sudah nampak sepi. Ingin sekali mengamuk pada ayah, tapi kembali kak Andi urung dalam-dalam, sebab, takut ayah malah menambah hukuman terhadap Aira. 

Aira'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang