03. Aira

82 3 0
                                    

"Aku juga anakmu, darah dagingmu. Seharusnya jika aku terluka kamu juga sama merasakannya."

Aira-

*

**

Ridwan membawaku ke toilet dekat gudang yang ibu maksud. Di sini sangat sepi bahkan kotor sekali. Tapi dengan terpaksa aku harus rela membersihkan toilet ini. Ridwan juga seperti tidak enak hati telah menyuruhku membersihkan toilet rusak itu. Tapi karena suruhan ibu dia terpaksa harus menurut.

"Kamu bersihkan yang ini! Nanti saya kembali, kalo ada apa-apa teriak aja!" peringat dia.

Aku memandang keadaan toilet tersebut. "Kak Ridwan serius suruh aku bersihin ini?" tanyaku sendu.

"Sebenarnya saya tidak mau menghukum kamu dengan cara ini. Tapi bu Adila yang menyuruh saya," jawabnya. "Bu Adila pembina Osis yang perintahnya harus saya turuti sebagai ketua Osis di sini," lanjut Ridwan sambil tersenyum kecut.

Aku ikut tersenyum kecut melihat Ridwan sudah meninggalkan aku sendirian di sini. Hukuman ini memang pantas karena aku sudah membolos. Dengan perasaan sesak aku mulai melangkah ke dalam untuk segera membersihkan kotoran yang sudah melekat itu.

"Aira. Ayah janji gak akan bikin Aira nangis."

"Ibu sayang banget sama Aira. Ibu ingin melihat Aira tersenyum setiap saat."

"Aira juga janji bakalan bikin Ayah sama Ibu bahagia."

"Aira. Kak Ayu juga janji bakalan jagain kamu dari cowok buaya di luar sana."

"Kak Andi juga janji bakalan sayang sama Aira. Gak akan berpaling pokoknya."

"Aira juga janji akan selalu sayang sama Kak Ayu dan Kak Andi."

Air mataku mengalir deras saat mengingat masa kecil yang begitu manis. Setiap hari semua orang rumah akan memperlakukan aku bak ratu. Jika tangis kecil memenuhi isi rumah, mereka juga ikut panik. Tapi semuanya hilang saat mereka tau bahwa aku tumbuh menjadi orang yang tak pandai. Hanya kak Andika yang masih peduli padaku, berbeda dengan kak Ayunda yang sama acuh seperti ayah dan ibu.

Dari saat itu aku tak lagi tersenyum lepas hanya senyum kecut yang menjadi penghias hari-hariku. Aku menangis dalam diam di toilet ini. Tangan memang menyiram untuk membersihkan kotoran, namun pikiranku berkelana memikirkan segala hal yang sudah terjadi.

"Mengapa aku dibedakan?" lirihku pilu.

***

Hujan turun deras membasahi kota Cianjur. Suasana pun berubah menjadi sepi. Para pengendara berbondong-bondong berlindung di tempat teduh. Pejalan kaki berlarian ke halte bis. Aku ikut di antara mereka. Ibu pulang lebih awal dan meninggalkan aku yang masih membersihkan toilet.

Mungkin jika tadi pulang bersama ibu naik mobil, tidak akan kehujanan seperti sekarang. Kapan, ya, aku kembali menjadi ratu ayah dan ibu? Ingin sekali rasanya hal itu kembali. Namun sepertinya mustahil karena penyebabnya ada pada diriku yang bodoh.

Entah sampai kapan hujan akan turun. Sudah satu jam mengguyur namun belum ada tanda-tanda akan mereda. Waktu sudah menunjukkan pukul 16.36. Itu tandanya ini sudah sore. Lalu aku pulang ke rumah bagaimana? Tak mungkin menerobos hujan deras ini.

Tidak ada transportasi umum yang lewat di sini. Padahal banyak orang tengah menunggu kedatangan bis. Aku takut ayah marah jika pulang larut. Tapi jika menerobos hujan ... mustahil, pasti aku akan sakit. Kenapa hidup ini begitu serba salah.

Aira'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang