03.| Batalkan

312 61 17
                                    

Di umur ke 14 tahun, orang tua Yeonjun bercerai dan ia pada akhirnya memilih ikut ibunya kembali ke rumah keluarga besar. Yang artinya, masuk ke dalam keluarga garis keturunan bangsawan dengan segudang peraturan, tata krama, dan sopan santun yang demi Tuhan, hidup dalam keluarga ini sama seperti tumbuh menjadi sebatang pohon cemara: lurus ke atas, fokus, berdiri sendiri.

Awalnya Yeonjun ingin menangis, tetapi kemudian...

"Hyung, tidak apa-apa, nanti juga kau akan terbiasa."

Ada seorang anak yang memanggilnya dengan sebutan hyung di rumah itu.

Choi Soobin, cucu ke dua setelah Yeonjun yang pertama tetapi statusnya jelas lebih tinggi. Dia pewaris utamanya, omong-omong, anak dari kakak laki-laki ibunya.

Yeonjun kira awalnya pemuda itu manis, tapi siapa sangka tampang manisnya hanya ditunjukkan padanya seorang? Di depan orang lain, pemuda yang tadinya tumbuh hanya beberapa senti di bawah Yeonjun itu adalah si wajah dingin dan hati hambar.

Jadi lama-lama Yeonjun merasa tertipu juga dan menjadi lebih awas. Ini keluarga bangsawan, perebutan posisi bukan hal yang baru, Yeonjun setidaknya harus mengamankan diri.

"Hyung, kau memanggilku?"

Yeonjun berjengit kaget, lalu mengelus dadanya yang berdebar.

"Datangnya biasa saja, bisa tidak?"

Soobin tertawa sambil ikut berdiri di balkon super luas yang sepi. "Kau yang tidak biasa hari ini. Ada apa, hm?"

"Batalkan perjodohannya."

Sebelah alis Soobin terangkat tinggi. Ia melirik ke belakang, sayup-sayup kemeriahan pesta masih terdengar, ia memastikan keadaan sebelum kembali menjatuhkan atensi pada kakak sepupunya yang cemberut. Sudut bibirnya terangkat kecil, senyumnya agak menakutkan untuk orang lain tetapi Yeonjun sudah lebih dari sering, bahkan cenderung muak melihatnya.

Soobin berjalan kian mendekat, mengikis jarak di antara keduanya lalu berhenti ketika hanya satu langkah tersisa sebelum tubuh mereka bertabrakan. Kedua tangannya di masukan ke dalam saku celana yang senada dengan jas mewahnya, tatapannya tak begitu tajam sebenarnya tetapi menilik tepat ke manik lawan, tidak ada intimidasi tapi Yeonjun seolah dituntut untuk patuh di bawah kendalinya. Soobin, umurnya masih muda, bahkan belum lulus kuliah tapi aura seorang pemimpin menguar kuat dari sosoknya yang sangat-sangat mendominasi.

"Haruskah?"

"Ya."

"Kenapa harus?"

"Karena..." bola mata Yeonjun berotasi malas sewaktu Soobin mulai mencondongkan tubuh ke arahnya. Tidak ada lagi ruang tersisa untuk mundur. "... jika kau menikah duluan, lalu aku bagaimana?."

"Bagaimana apanya?"

Yeonjun mendengus, "Kau selalu ada di atas ku, lalu sekarang jelas-jelas aku lebih tua tapi kenapa malah kau duluan yang dijodohkan? Itu tidak adil sama sekali." ...kalau kau menikah, posisiku pasti akan semakin ditekan ke bawah. Ke mana aku harus cari perlindungan? Ibuku saja tidak cukup. Aku juga butuh warisan untuk hidup."

Kalimat terakhir Yeonjun ucapkan dalam hati sambil menangis.

"Jadi kau cemburu?"

"Ya." Beberapa detik kemudian Yeonjun menyadari sesuatu yang salah dari jawabannya ketika melihat senyum ganjil Soobin yang kian melebar dari waktu ke waktu. "Eh, bukan cemburu yang itu, duh!"

Soobin menegakkan tubuhnya kembali, melipat tangan di depan dada, tatapannya tak lepas sedetik pun dari wajah Yeonjun yang masam. "Tenang saja, hyung, sejujurnya aku juga tidak tertarik pada perjodohan ini."

Yeonjun memiringkan kepala mencari kepastian. "Benar?"

"Mn. Aku akan membatalkannya, segera."

Mengangguk, Yeonjun akhirnya melepaskan napas lega yang sudah berjam-jam tertahan. "Kalau begitu bagus."

Kemudian mereka sama-sama diam. Yeonjun melirik jam tangan sebelum mendorong dada Soobin menjauh. Ia sudah menghilang cukup lama dari pesta, ibunya pasti sedang mencarinya sekarang. Dan tidak baik jika orang lain melihat mereka berduaan di tempat sepi dengan posisi seperti ini.

Yeonjun baru dua kali mengambil langkah ketika tangannya ditahan.

"Anting-anting itu terlihat cocok denganmu, hyung."

Tangan Yeonjun yang bebas bergerak ke benda yang dimaksud, sebuah anting dengan batu alam berwarna biru. "Ini? Ku rasa juga begitu. Kau tahu seleraku dengan baik. Terima kasih sudah membelikannya."

Suara hewan malam dan sayup-sayup pesta mengisi sepi.

Sebelah alis Soobin terangkat tajam. "Itu saja?"

"Itu saja."

"Hadiahku mana?"

Yeonjun mendengus malas tetapi tetap menggerakkan tangan, memanggil Soobin untuk lebih mendekat. "Kemari."

Lantas sebuah ciuman seringan kelopak bunga persik yang gugur di musim semi mampir di dagu tajam Soobin. Sangat singkat, sesingkat capung yang menyentuh air, menggoda Choi Soobin yang jarang sekali puas pada hal-hal yang sudah jadi obsesinya.

Kemudian terdengar suara mengeluh Yeonjun tentang genggaman tangan Soobin yang terlalu kuat.

"Nanti malam aku ke kamarmu, ya?"

"Ya, ya, terserah, tapi pastikan dulu kau batalkan perjodohannya." Yeonjun mengalihkan pandangannya dari wajah Soobin. "Lagipula untuk apa meminta izin? Biasanya juga kau langsung masuk ke dalam selimutku."

Soobin terkekeh kecil, melepaskan cengkeramannya dan Yeonjun segera melenggang pergi tanpa menoleh.

Namun Soobin sudah sempat melihat rona merah di pipi kakak sepupu kesayangannya itu.

.
Selesai
...

Serpih ~3~

1 Juli 2021

Sumbang satu bintang di pojok kiri bawah. Trimsss ^_^

Serpih || SoobjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang