Pertama kali aku melihatmu adalah ketika hujan dan kita terjebak di perpustakaan. Hanya ada seorang penjaga perpustakaan di meja depan dekat pintu masuk, seorang dosen berkacamata di hadapan tumpukan literatur seni rupa, dan beberapa mahasiswa tingkat akhir yang mulai berbenah hendak meninggalkan tempat. Kala itu, di sudut ruangan yang paling lembap dan berdebu, aku mengurungkan niat untuk menyembunyikan buku yang tak sengaja rusak di tanganku. Pandanganku terpaku pada sosokmu yang termenung panjang, tak terganggu bahkan olehku yang mulai ambil langkah mendekat. Baru lah setelah aku buka suara, mohon permisi di depanmu, kau terperanjat kecil. Mata rubahmu berkedip kebingungan seakan baru saja keluar dari mimpi. Aku bertanya-tanya dalam hati, bisakah kepekaan manusia seburuk yang ku lihat di dirimu itu? Maksudku, hey! Aku tidak kecil dan suara kakiku bahkan terdengar sampai beberapa rak di sekitar. Kenapa kau melamun sangat dalam?
Aku ingat, waktu itu kau tidak banyak bicara, sama seperti sekarang (dalam hitungan masalah pribadi. Duh, berapa kali ku bilang kau itu tidak kuat!), tapi bedanya aku yang dulu tidak mengerti apapun tentangmu dan belum tertarik pada eksistensimu. Aku diam-diam mencuri pandang lewat sudut mata, dengan tangan yang seolah sibuk mencari. Kau masih tidak bergerak jadi aku mulai agak penasaran. Aku tidak biasa menjadi orang yang pertama kali mengambil inisiatif, tapi waktu itu entah apa yang membuatku tertarik untuk melakukannya, atau mungkin begitulah cara takdir bekerja, pada akhirnya aku bertanya.
"Maaf, tapi kenapa kau melamun di sini?"
Jika diingat lagi, wajahmu saat itu sangat lucu. Ah benar, aku menahan tawa dan berusaha terlihat normal di depanmu. Kikuk mu itu terlihat sangat jelas, gelagapan, seperti tidak pernah dapat pertanyaan sejenis itu sebelumnya. Sekarang, aku tahu mengapa kau seperti itu dan aku tidak akan pernah menertawaimu lagi.
"Ah? Aku tidak." Jawabmu, lalu mungkin kau sadar lupa tersenyum, jadi kau segera membentuknya di wajahmu.
Yeonjun, hey, Choi Yeonjun. Tidak perlu tersenyum jika kau tidak menginginkannya.
Sekarang aku sudah tahu, bibirmu yang bergetar waktu itu disebabkan karena kau takut tersenyum terlalu berlebihan pada orang asing, tapi juga merasa kurang ramah jika hanya menyuguhkan sedikit. Kau berpikir terlalu banyak dan pada akhirnya tidak mendapatkan satu pun dari dua pilihan itu. Senyummu terlihat sangat palsu, tidak jelas apa yang ingin di sampaikan. Jangan salahkan aku karena menganggapmu orang aneh waktu itu.
Hening kemudian. Aku melihatmu ingin lanjut bicara dengan keraguan yang begitu nyata. Biar ku tebak sekarang, waktu itu kau di ambang pikiran yang bercabang. Di satu sisi kau ingin mengakhiri percakapan, di lain sisi kau takut dipandang angkuh oleh orang lain.
Seperti yang sering kau katakan padaku, Yeonjun, kau selalu berada di ambang, tidak jelas, tidak konsisten, tidak berpendirian, dan... apa lagi yang kau predikatkan pada dirimu sendiri?
"Sebenarnya suara hujan..." ucapanmu terhenti tanpa penjelasan dan aku tentu saja kebingungan.
"... suara hujan, di sini terdengar jelas." Sambungmu dengan tergesa. Kau yang malu cepat-cepat mengalihkan pandangan ke arah lain, berusaha kabur setelah kata-kata.
Waktu itu suara hujan memang terdengar lebih jelas di tempat itu.
"Kau mendengarkannya?"
"Apa?"
"Suara hujan. Kau mendengarkan suara hujan?"
"Ah, ya, ya. Aku menyukainya"
"Kenapa? Apa yang bagus?"
"Tidak terlalu penting, tapi bagiku ketika hujan turun deras, dunia bisa sedikit lebih tenang."
Aku mendengarkan suara hujan yang menghantam atap kala itu, ingin menemukan kata tenang yang kau maksud dan ternyata tidak serta-merta sejalan dengan pandanganmu. Aku berpikir bahkan suaranya jauh lebih riuh dari ketika dunia cerah, apalagi mengingat kita sedang berada di tempat yang seharusnya tenang.
"Kau tahu, perpustakaan seharusnya hening."
"Ya, tapi siapa yang bisa membungkam hujan? Hanya hujan yang bisa membungkam dunia yang berisik."
Kala itu, aku tidak tahu jika yang kau maksud adalah kau hanya ingin lepas dari mulut-mulut orang lain yang banyak bicara tentang kau yang harusnya begini atau begitu, seolah mereka mengetahui mu lebih dari siapa pun dan kau harus menurut untuk memenuhi standar karena dilarang mengecewakan orang lain. Kau tidak pernah bisa membungkam mereka yang menilai mu lewat pandangan mata, lewat tingkah laku, dan tutur kata. Kau tidak bisa berpura-pura tidak dengar karena telinga mu masih berfungsi dengan baik dan otakmu bekerja secara autopilot.
Suara hujan membuatmu berhenti mendengar.
Namun aku tahu pikiranmu tetap berjalan.
Kala itu, si pemikir ulung ini tidak tahu akan ada seseorang yang peduli, yah, walaupun memang awalnya aku hanya ingin memuaskan rasa penasaran saja.
Keesokan harinya, hujan kembali turun dan aku tiba-tiba saja mengingatmu. Aku bertanya-tanya apakah kau sedang mendengarkan hujan?
Kemudian hujan turun selama seminggu penuh.
Selama seminggu penuh aku memikirkanmu, Yeonjun.
Dan sekarang, bahkan jika langit tersenyum cerah, aku juga mengingatmu.
Hey, Choi Yeonjun, aku tahu sebenarnya kau tidak terlalu menyukai hujan, kan? Kau selalu mengeluh kakimu dingin padaku.
Sayang, sekarang kau punya aku. Tidak perlu menunggu hujan lagi, kapan pun kau mau, aku selalu siap mengenyahkan suara yang tak ingin kau dengar itu. Kemari, dengarkan aku bicara tentang betapa berharganya dirimu untuk ku. Jangan bilang aku menggombal! Aku sungguhan jatuh hati padamu! Di mataku semua hal tentangmu selalu menyenangkan.
.
Selesai
...Serpih ~13~
Sabtu, 10 Desember 2022
Pengen 1 yang kayak bapak Soobin 😣
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpih || Soobjun
FanficAkan selalu ada kisah yang datang bersama dengan lembar angka yang tersobek, hitam maupun merah, 1 sampai 31. Angkanya terulang tetapi cerita akan berbeda dari waktu ke waktu. Serpihnya biarlah ku rangkum ke dalam sebuah wadah sehingga apabila nanti...