08.| Pagi Ini, Matahari Masih Terbit

237 33 11
                                    

Yeonjun melambai pada teman-temannya di kelas sambil mengucap salam perpisahan sebelum keluar dengan langkah lebar. Dia merogoh saku celana seragamnya untuk memastikan kunci rumah masih aman, memeriksa ponsel di dalam tas, menghitung jumlah buku, serta memastikan kotak pensil dan dompet tidak tertinggal. Semua hal itu dia lakukan sebagai kebiasaan, Yeonjun bahkan tidak pernah sadar ketika mulai melakukannya. Sesuatu di alam bawah sadar seperti selalu mendorongnya untuk melakukan hal itu, dan jika melewatinya, dia akan resah yang akan tampak jelas dari gerak tubuhnya.

Ketika dia sedang menunduk untuk menutup tas ransel, telapak tangan lebar tiba-tiba menahan kepala Yeonjun, menyebabkan langkahnya otomatis berhenti.

"Eh?"

Yeonjun berjuang mendongak untuk melihat pemilik tangan, tetapi tangan itu dengan kuat memaksanya terus menunduk.

"Kau berhutang cerita padaku."

Suara dingin itu, tentu saja sudah sangat tidak asing di telinga Yeonjun. Perlawanannya seketika dipatahkan, kepalanya justru jatuh semakin dalam sekarang, dan tangan Soobin akhirnya menjauh dari kepala Yeonjun.

Yeonjun diseret ke sudut oleh Soobin, di mana orang lain tidak akan mudah melihat apa yang sedang mereka lakukan.

"Aku sudah baik-baik saja sekarang, sudah tidak ada yang perlu diceritakan lagi."

"Hanya karena kau sudah tidak sedih, bukan berarti semuanya sudah selesai."

Yeonjun mencebik. "Yang aku ceritakan semalam sudah semuanya, kok. Jika kau memaksaku untuk bicara, mungkin aku akan mengatakan omong kosong."

Soobin dengan wajah seriusnya masih terus memaku tatap pada Yeonjun, seratus persen tidak yakin pada kata-katanya, dan berusaha memaksa Yeonjun bicara dengan sorot matanya yang tajam.

Tengah malam tadi, seseorang menelepon Soobin ketika dia sedang bersiap untuk tidur. Kata umpatan sudah dia lontarkan, tetapi saat mendapati nama Yeonjun tertera pada layar ponselnya, entah mengapa perasaannya mendadak tidak enak, bulu kuduk Soobin meremang, secepat kilat dia menekan ikon hijau.

Sepuluh detik pertama hanya ada kesunyian. Ketika Soobin selesai mengucap salam, satu isakan terdengar dari seberang. Jantung Soobin serasa jatuh ke perut!

Bagaimana Soobin bisa yakin bahwa Yeonjun sudah baik-baik saja sekarang?

Semalam, Choi Yeonjun yang ada di hadapannya ini, yang berhasil menyamarkan sembab di matanya dalam waktu beberapa jam, yang suaranya tidak serak sama sekali di pagi hari setelah menangis semalaman, dan masih bisa berlagak seperti hari-hari biasanya di sekolah, dia mengadu sambil terbata-bata.

Itu pertama kalinya Soobin mendengar Yeonjun bicara bukan omong kosong, itu bukan cerita konyol yang sering dia utarakan saat sedang berkumpul, bukan juga kisah karangan untuk menipu teman-temannya ketika sedang iseng. Dia bicara tentang hidupnya sendiri yang dia tangisi di malam suntuk.

Soobin ingat bagaimana air matanya yang dia tahan mati-matian akhirnya jatuh ketika Yeonjun berucap, "Aku berpikir akan mengakhiri hidupku, tetapi aku takut melakukannya. Aku tidak ingin mati seperti itu."

Apa yang salah selama ini? Mengapa orang seperti Yeonjun tiba-tiba bisa berkata ingin bunuh diri? Bukankah dia baik-baik saja? Jadi, apakah selama ini Soobin salah menaruh perasaan kagum dan iri pada orang lain?

Perasaan mengerikan apa yang ada di balik gema tawanya yang sering mengisi koridor kelas? Tidakkah itu... menyakitkan?

"Kau mempercayaiku, kan?" Tanya Soobin, masih menunjukkan raut dinginnya yang membuat Yeonjun tidak bisa berkutik. "Jangan khawatir, kau tidak salah memilih orang, Yeonjun. Kau bisa mempercayaiku sepenuhnya, aku akan ada untukmu."

Yang lebih pendek menghela napas. "Maaf..." gumam Yeonjun kecil sekali, tapi masih dapat Soobin tangkap.

Soobin melebarkan mata, bingung. "Kenapa meminta maaf?"

Yeonjun mendesah lirih. "Karena aku memilihmu."

Bahkan untuk memilih seseorang sebagai orang yang bisa dipercayai, Yeonjun merasa tak enak hati dan menganggapnya sebagai suatu kesalahan. Dari sini, Soobin benar-benar merasa Yeonjun sangat tidak beres.

Soobin tanpa pikir panjang segera meraih Yeonjun ke dalam pelukannya. "Jangan meminta maaf, aku sama sekali tidak keberatan, berterima kasihlah padaku."

Sudut bibir Yeonjun tertarik tipis. "Baiklah, terima kasih, Soobin. Begini, sebenarnya aku bukannya tidak ingin cerita, hanya saja ku rasa aku akan menangis ketika melakukannya."

Suara Yeonjun bergetar dan dia berhenti beberapa saat.

"Hehee..."

Soobin berdecak ketika suara kekehan hambar itu muncul, dengan lembut menarik Yeonjun semakin dalam.

"aku salah. Aku bahkan menangis karena mengingatnya." Lirih Yeonjun.

"Aku bersamamu, tidak apa-apa, Yeonjun, menangis saja, aku akan ada bersamamu."

"Soobin... berkatmu, aku melewatinya semalam. Syukurlah pagi ini matahari masih terbit."

Pagi ini, tak peduli seberapa hancur dia semalam, matahari masih terbit, Yeonjun bisa melihatnya dari jendela kamar.

.

Selesai
...

Serpih ~8~

Senin, 25 Oktober 2021

Untuk sebagian orang, melihat matahari terbit bisa menimbulkan perasaan rumit...

Serpih || SoobjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang