Ada seorang pemuda yang suka sekali membakar lilin untuk menerangi larut malam, kemudian ketika lelehan terakhir memadamkan cahaya, dia akan melakukan penghormatan layaknya upacara kematian.
.
.
.Langkah kakinya selalu sama, terburu-buru, kesannya seperti tidak ada waktu lagi yang tertinggal, dia mengejar tanpa lelah pada sesuatu yang tak pasti, dan telah lama dijadikannya kebiasaan di penghujung hari. Awalnya eksistensi sosok itu tampak hangat di bawah guyuran cahaya matahari, kemudian lambat laun jadi dingin, serupa dengan suhu malam yang melingkupi raganya. Tidak ada yang mencoba peduli pada kesibukan pemuda itu. Tidak. Karena semua orang hanya tahu bahwa pemuda itu sudah kehilangan kewarasannya sejak bertahun-tahun lalu. Biarkan saja kehidupan sebatang kara itu menyendiri dengan kebiasaan anomalinya, selagi ia tidak membuat masalah, atau keberadaannya tidak menimbulkan kerugian, dia akan diberikan kebebasan mutlak untuk bersenang-senang dengan caranya sendiri.
Ketika gelap menyapa dunia untuk sementara waktu, serangga malam bernyanyi di bawah pohon, dan tirai di rumah-rumah mulai diturunkan, Soobin akan mengambil belokan ke kanan setelah pintu keluar kantor besar militer, melewati akademi kepolisian kerajaan, menyusuri setapak berbatu dekat sungai yang agak ramai pejalan kaki, kemudian setelah jembatan pendek ia akan sampai pada sebuah kuil leluhur yang berdiri di pinggir sungai, yang akan menyala hangat sepanjang malam dengan aroma manis asap dupa. Soobin biasanya akan duduk di atas sebuah batu untuk mengamati seorang pemuda bermata rubah yang berlarian ke sana kemari bersama dengan lentera kecil di tangannya. Aula berbunga akan terbangun di malam hari, dengan seorang pemuda yang duduk bersimpuh sambil bernyanyi, sebuah pedang dingin di atas pangkuannya, berwarna keperakan yang berubah hangat dengan pantulan cahaya lilin dari altar leluhur berhias bunga-bunga yang tak pernah layu.
Setiap malam Soobin hanya akan menonton dari jauh sambil menekan keinginan untuk membawa dirinya lebih dekat pada sosok laki-laki itu. Bahkan hari ini ia memilih berhenti di pertengahan jembatan, dalam diam memandangi pemuda yang sedang asyik berjongkok di halaman kuil dengan sebuah lampion kertas di hadapannya. Api menyala menerangi wajah pemuda itu.
Soobin memandanginya dari tempatnya berpijak. Dia sering mendengar orang lain membicarakan pemuda itu. Mereka akan mulai bercerita dengan awalan yang sama.
Ada seorang pemuda yang suka sekali membakar lilin untuk menerangi larut malam, kemudian ketika lelehan terakhir memadamkan cahaya, dia akan melakukan penghormatan layaknya upacara kematian.
Sebanyak apapun dia mendengar kisah tentangnya, bagi Soobin, Yeonjun tidak pernah berubah, dia masih tetap sama, tetap tersenyum pada segala sesuatu di dunia ini, seolah semua hal adalah baik di matanya tetapi diam-diam memendam kemarahan. Dia terlalu baik dalam berlakon.
Perlahan lampion naik ke langit malam. Choi Yeonjun melepas kepergian lampion itu dengan damai, menitipkan sejuta doa yang diam-diam ia bisikan.
Kemudian pemuda itu berbalik tanpa aba-aba. Soobin terkejut tetapi tidak memiliki cukup waktu untuk pergi. Tidak ingin terlihat seperti penguntit yang tertangkap basah, ia tetap berdiri angkuh di tempatnya, menatap balik pada sepasang manik rubah yang menatapnya dengan perasaan rumit.
Mereka tetap seperti itu untuk beberapa saat.
Soobin tidak berharap sesuatu akan terjadi, tidak sampai Yeonjun perlahan berjalan ke arahnya, dengan hati-hati memijakkan kaki di atas tangga berbatu, berjalan dengan anggun di atas jembatan, dan berakhir berdiri di hadapannya.
"Tuan punya waktu luang untuk berkeliaran malam ini? Tetapi tempat seperti ini bukan tempat yang seharusnya anda kunjungi." Ujar Yeonjun, penuh sopan santun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpih || Soobjun
FanfictionAkan selalu ada kisah yang datang bersama dengan lembar angka yang tersobek, hitam maupun merah, 1 sampai 31. Angkanya terulang tetapi cerita akan berbeda dari waktu ke waktu. Serpihnya biarlah ku rangkum ke dalam sebuah wadah sehingga apabila nanti...