10.| Bertahan Hidup

177 29 10
                                    

Dua cone es krim: satu mint cokelat dan satu vanila cokelat. Aroma manisnya menguar bebas di udara, menarik antusias Yeonjun dari yang awalnya bermuka masam jadi berhias senyum. Sepasang mata rubah miliknya berbinar, tak sabaran mengecap rasa dingin manis di lidahnya yang hambar seharian. Namun Soobin tak serta merta memberinya mudah. Dia selalu suka membawa masalah kecil pada Yeonjun. Menikmati momen-momen di mana Yeonjun akan mengerucutkan bibir dengan imut, yang jika sudah ada di level sangat marah, akan semakin maju, lalu Soobin dengan senang hati mengapitnya dengan dua jari, diakhiri seruan protes Yeonjun sebelum dia mulai acara ngambek. Jadi sebelum es krim mencair, Soobin sengaja membawanya lebih tinggi, berlagak seperti patung Liberty dengan obornya yang dijunjung tinggi. Yeonjun tak terima, tentu saja, dia mengeluh jengkel tapi tidak punya cukup tenaga untuk berlagak. Dia melompat kecil sekali, kemudian merengek. Melompat lagi, lalu pura-pura menangis. Melompat untuk yang ketiga kali, dan berakhir jongkok di bawah Soobin, menolak mengangkat kepala ketika Soobin sudah berhenti menggoda dan membujuknya dengan iming-iming lezatnya rasa es krim.

"Aku lelah, Soobin." Wajah Yeonjun tersembunyi di dalam lipatan tangannya. Nadanya merengek lesu seperti orang kurang tidur.

"Iya, iyaa. Bangun, Yeonjun, aku tidak akan menggodamu lagi."

Namun balasannya hanya sebatas rengekan tak bernyawa. Yeonjun mengambek.

"Sudah, sudah, aku minta maaf. Es krimmu mencair, nih. Kau mau makan atau tidak? Kalau tidak mau, ya sudah aku buang saja."

Ancaman yang terselip di balik nada rayu Soobin bekerja, meski wajah pemuda itu masih masam ketika mendongak untuk menagih hak miliknya.

Es krim warna hijau-cokelat dengan cepat berubah bentuk dan berpindah tempat ke dalam perut karet Yeonjun. Dia memakannya dengan sangat lahap, tak membiarkan setetes pun es yang mencair luput dan terbuang sia-sia. Karena gaya makannya, sudut bibir Yeonjun jadi tercecer lelehan es krim.

Makan dengan berantakan adalah kebiasaan Yeonjun, dan mengambil tugas membersihkannya adalah hobi Soobin. Soobin dengan telaten membersihkan sisa-sisa es krim di sudut bibir Yeonjun. Ibu jarinya bergerak pelan, lebih terlihat seperti takut-takut daripada hati-hati. Berupaya sebisa mungkin agar tidak menyakiti Yeonjun, tak ingin menimbulkan rasa sakit lagi pada jejak luka di sudut bibirnya yang belum sempat mengering. Diam-diam Soobin menyimpan harap dalam hati agar luka itu bisa berpindah tempat padanya, agar sakitnya Yeonjun juga bisa ia rasakan, sehingga dia bisa paham apa yang sebenarnya sedang Yeonjun bisukan di balik kurva bibirnya yang jarang menghilang.

"Kau senang sekarang?" Tanya Soobin setelah selesai melakukan tugasnya. Tak sedetik pun melepas pandang pada wajah putih pucat Yeonjun.

Yeonjun menjilat es krimnya, lagi. "Ya."

Sahutannya hanya sekadar kata, Soobin tahu itu. Kata 'ya' tidak lebih baik dari 'tidak'. 'Ya' nya mungkin mengindikasikan bahwa ia masih mampu bertahan, atau berupaya mengatakan semuanya sudah biasa, dia baik-baik saja, tidak perlu khawatir. Atau 'ya' itu artinya tidak perlu dibahas lagi, jangan bertanya lagi.

Yeonjun adalah abu-abu. Dia berkabut setiap waktu. Perasaannya seperti asap tipis: ada tapi tidak dapat disentuh, membumbung pelan ke angkasa dan Soobin tidak punya kuasa untuk meraihnya. Dia selalu menerima kosong ditangannya, dan tidak berani menggali kisah darinya sedikit lebih jauh, sebab ia takut malah membuat Yeonjun runtuh. Dia akan menunggu dengan sabar, sampai Yeonjun mengadu sendiri, mengatakan apa yang ingin dikatakan, tanpa memaksa atau menuntutnya. Dia akan belajar mengerti, memahami, dan merawat luka-lukanya sampai tidak terasa sakit lagi.

Saat keduanya hancur, saat keduanya meraba-raba untuk mencari pegangan dan menemukan satu sama lain, tapi tak ada luka yang berani dilisankan, hanya afeksi yang dibutuhkan, Yeonjun sering berkata di tengah hening teduh. "Begini saja sudah bagus, yang terpenting kita masih hidup."

Soobin menelan nyeri kecil di dadanya. Ia tahu baik dirinya maupun Yeonjun, mereka berdua sama-sama remaja yang kehilangan arah, yang tidak tahu cara bagaimana untuk hidup menjadi dewasa, yang selalu berusaha belajar menjadi manusia tetapi tidak memiliki contoh sebagai panutan. Tidak tahu hidup untuk apa, tanpa tujuan, tapi keras kepala untuk terus bertahan.

Namun setelah langkah panjang, sedikit demi sedikit, Soobin telah mendapati cahaya kecil di ujung lorong. Sekarang, mungkin, dia punya tujuan.

Yeonjun mendorongnya untuk belajar banyak hal. Dia tidak pernah meminta, tapi Soobin secara naluri ingin mengobati luka-lukanya, ingin menyempurnakan bagian-bagian dari dirinya yang cacat. Soobin tidak keberatan mengemban tanggung jawab itu sendirian, juga dalam diam. Lalu secara tidak langsung, Soobin juga membenahi hidupnya yang berantakan, sebab untuk menjadi tumpuan bagi Yeonjun, dia juga harus menjadi manusia yang kokoh. Segalanya ia lakukan tanpa terburu-buru.

Soobin mengalihkan pandangannya dari wajah Yeonjun. Matanya menerawang ke langit yang berselimut awan. "Tapi, Yeonjun, walaupun kau tersenyum, walaupun kau juga mengatakan kalau kau senang, aku tetap bisa melihat sisi sebaliknya di wajahmu, terutama di matamu. Aku selalu menemukannya."

Yeonjun tertawa kecil, melempar tatap pada Soobin sebentar, lalu kembali sibuk dengan es krimnya saat menerima balasan tatap yang menyetrum dari lawannya. Dia tak lagi berani melihat wajah Soobin setelahnya. Takut.

Angin berembus pelan, daun-daun di pepohonan saling menggesek, mengalunkan melodi alam yang tenang, setenang bagaimana Yeonjun memuntahkan nada-nadanya kemudian. "Ada perasaan senang, tapi rasa sakit sebelumnya juga masih terasa. Kau bisa melihat wajahku, Soobin, tapi tidak dengan perasaanku, tidak dengan isi hatiku, juga isi kepalaku. Aku senang, kok. Ada kau, asalkan kau ada, aku senang. Pokoknya aku senang kalau ada kau. Jadi jangan kemana-mana. Tolong temani aku kalau aku minta."

Dia berusaha meyakinkan Soobin sekeras itu, sampai-sampai tanpa sadar mengulang kata-kata yang sama.

Kata-kata Yeonjun selalu manis, dia tidak pernah melukainya, tapi Soobin selalu merasa nyeri di hatinya saat Yeonjun mengeluhkan sedikit luka padanya.

"Kau juga. Jangan pergi walaupun tidak tahan lagi. Aku akan selalu menemanimu bahkan jika kau tidak memintanya."

Jeda sejenak, lalu celetukan Yeonjun mengambil atensi. "Es krimnya enak, Soobin."

Yeonjun tidak pernah ingin membahasnya terlalu dalam. Selalu menolak menjawab ketika diminta untuk bertahan. Dia juga tak yakin di mana dia sedang berdiri. Apakah dia telah berada di batasnya, atau masih ada jarak aman sebelum jatuh ke dalam jurang putus asa. Yeonjun tidak bisa memastikan keinginannya bahkan untuk lima detik yang akan datang. Dia tak punya pendirian. Dia sudah lama lumpuh tetapi terus dipaksa tegak. Dia tak mau mengucap janji muluk pada Soobin, tidak ingin membohongi Soobin. Jadi dia memilih tidak mengatakan apa-apa. Di sisi lain, Yeonjun tahu Soobin sebenarnya sudah paham keadaannya tanpa perlu dijelaskan.

"Besok saat kita kembali bertemu, aku akan membelikanmu es krim."

Soobin tidak bisa memaksa, tapi dia selalu berusaha membujuk Yeonjun untuk bertahan lebih lama lagi. Sedikit lebih lama lagi. Dia tidak berhenti berharap agar semuanya membaik. Semoga waktu berbaik hati pada keduanya, menyembuhkan luka, bukannya menyiksa jiwa raga sampai tak bersisa.

.
Selesai
...

Serpih ~10~

Sabtu, 30 Juli 2022


Semangatin aku, dong... kasih bintang ya, nanti ku kasih permen, deh, mwehwhw.

Serpih || SoobjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang