Grace's Angels 27

10 4 0
                                    

Hai-Hai! Selamat datang kembali. Apa kabar kalian hari ini? Yuk, langsung aja!

Stay safe and healthy

Happy Reading-!

∘˚˳°☆゚.*・。{ Grace's Angels }。・*.゚☆°˳˚∘

Grace's Angels 27

Anye bertanya-tanya kenapa ia tidak datang ke sekolah kemarin, meskipun sudah Grace bilang bahwa ia baik-baik saja dan hanya bangun kesiangan perempuan itu tidak percaya. Sekarang jam istirahat dan mereka memilih untuk berdiam diri di kelas. Kekhawatiran Anye membuatnya merasa risi, karena ia jadi dibuat mengingat soal kesalahannya kemarin yang mengakibatkan keempat cowok itu merasa marah padanya. Ya walaupun tidak ditunjukkan secara langsung, mereka seakan berusaha menahan diri untuk tidak meledak. Padahal Grace akan jauh lebih tenang kalau mereka mau membentaknya saja daripada hanya diam dan bertindak seakan tidak terjadi apa-apa.

"Grace, lo denger gue nggak?"

Grace menatap Anye, "maaf, tadi kamu bilang apa?" katanya. Anye menghela napas kemudian bersedekap, "tuh kan, lo pasti lagi ada apa-apa kan." tuduhnya lagi. Grace menggeleng, "lo tuh nggak pinter bohong, pasti ada masalah kan?" tebak Anye. Grace hanya diam saja, semakin membuat gadis itu yakin temannya punya masalah. Tapi, kalau Grace memang tidak ingin membahasnya maka ia tidak akan memaksa, ia mengerti karena terkadang ia juga seperti itu. Tidak terlalu ingin untuk menceritakan masalahnya pada orang lain, mungkin kalau Grace sudah siap untuk cerita ia akan menceritakannya. Ia hanya butuh waktu.

"Lo kemarin nanya-nanya kan, kenapa gue nggak suka sama Jess. Dia bukan orang yang bakal gue anggap temen, dia itu perundung, karena lo pernah ngalamin jadi pasti lo ngerti. Jess salah satu orang yang suka bully orang lain cuma buat seneng-seneng dia."

Kata-kata Anye membuat Grace memusatkan perhatian pada temannya itu, "k-kamu di bully juga?" tanyanya. Anye menggeleng, "enggak, tapi gue sempet terlibat." Jawaban Anye membuat Grace menarik diri, ia berpikir mungkinkah Anye juga sempat menjadi pembully? Anye tertawa kecil lalu menggeleng, "kalau lo pikir gue juga salah satu pembully, lo salah. Jadi, waktu itu gue punya temen, dia dibully sama Jess, karena beberapa hal, ya Jess juga temen satu SMP-nya. Dan gue nggak bisa diem aja, temen gue stres, dan gue harus bantu dia. Jadi waktu Jess bully temen gue, gue panggil guru diem-diem. Jess ketahuan, tapi dia juga tahu kalau gue yang lapor guru. Dan, gitulah."

"Terus temen kamu gimana?" Grace bertanya, Anye terdiam menatap tangannya yang terpaut di atas meja. "Dia pindah, dia home schooling, dan ikut terapi sama psikolog." jawabnya. Grace menghembuskan napas, lalu memandang keluar jendela kelas. "Lo ingetin gue sama dia, gue nggak mau lo deket-deket sama dia. Gue nggak mau lo bakal jadi kayak temen gue." Grace menoleh kembali menatap Anye, ia mengulurkan tangan menggenggam salah satu tangan Anye. "Maaf ya, kalau gitu aku nggak akan dekat-dekat lagi sama dia." katanya, Anye langsung mengangkat kepala menatap Grace. "Janji ya?" katanya. Grace mengangguk, dan hal itu membuat Anye merasa jauh lebih tenang.

"Apa yang lagi lo pikirin dari tadi?"

Sekarang giliran Grace yang menautkan tangan di atas meja, ia hanya diam. Ia merasa bersalah, dan bercerita membuatnya merasa sesak. "Apa menurut kamu aku orang yang suka ikut campur?" tanyanya, Anye mengernyit bingung. "Hmm, ya, lo kemarin nyebelin, tanya-tanya hal yang sebenernya privasi, gue cuma nggak mau lo kenapa-napa, tapi lo keras kepala banget." jawaban Anye membuat Grace terdiam di tempatnya. Ia mulai berpikir kalau memang ia salah, ia tidak pernah bisa melakukan sesuatu dengan benar. Ia terlalu ikut campur urusan orang lain, ia membuat orang lain merasa tidak nyaman.

"Tapi, gue tahu lo penasaran, dan niat lo baik. Lo mau gue untuk berbagi, supaya gue nggak stres mikirin sendiri." lanjutan dari Anye membuat Grace terhenyak di tempatnya.

"Jadi, lo masih nggak mau cerita?"

Grace menggeleng, Anye terlihat kecewa tapi kemudian ia tersenyum menenangkan. "Oke, tapi gue saranin lo supaya jangan terlalu pikirin itu dulu, jangan terlalu merasa bersalah. Karena gue yakin, niat lo baik, kalau sesuatu nggak berjalan sesuai harapan lo itu bukan salah lo. Emang udah jalannya begitu, lo bisa bantu, lo bisa berharap yang terbaik, tapi kalau kenyataannya mengecewakan lo nggak boleh terlalu merasa bersalah. Lo udah berusaha."

Dan tak urung, perkataan Anye membuatnya jauh lebih tenang. "Makasih." katanya pelan, Anye hanya tersenyum lalu bel masuk berbunyi dan murid-murid mulai memasuki kelas.

Pulang sekolahnya, ia hanya bersama Ra, H dan Nara punya kegiatan ekstrakurikuler dan Jean punya urusan dengan guru untuk persiapan Olimpiade. Ra tidak banyak bicara sepanjang perjalanan, membuat Grace merasa sedikit tidak nyaman. Kalau ini Jean ia maklum karena cowok itu memang tidak suka bicara banyak. Tapi, inikan Ra, yang memang tidak sebawel H tapi ia tidak biasa diam saja.

"Kenapa?"

Grace terkesiap, ia kedapatan sedang menatap Ra dan cowok itu sekarang sedang memandangnya balik. "Hah?" sahutnya membuat Ra mengernyit, "lo kenapa liatin gue?" tanyanya. Grace mengerjap sekali kemudian menggeleng, "nggak kenapa-kenapa." jawabnya. Ra tidak terlihat puas tapi kemudian ia kembali menatap ke arah depan.

"Lo mau makan es krim nggak?"

Grace menoleh pada Ra yang sekarang mereka sudah berhenti berjalan, tanpa mendengar jawaban Grace, Ra meraih tangannya dan menggandengnya memasuki sebuah minimarket. Tanpa banyak bicara laki-laki itu langsung menuju bagian es krim, dan mengambil satu untuk dirinya. Ia berdiri menunggu entah dia tidak sadar atau sengaja karena tangannya masih menggenggam tangan Grace, "kok diem, pilih." katanya sambil mengedikkan dagu pada sekumpulan es krim. Grace mengambil salah satunya dan mereka menuju kasir.

Ra baru melepaskan tangannya ketika ia meraih dompet di saku celananya dan membayar, lalu mereka lanjut berjalan ke komplek perumahan mereka yang memang tidak jauh lagi. Akhirnya, berhenti di taman komplek, dan Ra memilih untuk duduk di salah satu ayunan yang kosong membuat Grace mengikutinya. Mereka makan es krim dalam diam, sesekali anak komplek yang sedang bermain sepeda lewat depan mereka.

"Aku minta maaf,"

Ra menoleh, menatapnya dan itu membuat Grace merasa gugup seketika. "Buat?" tanyanya, Grace menarik napas kemudian menjawab "kalau seandainya—" "lupain aja, udah lewat." Grace terdiam karena ucapannya dipotong oleh Ra.

"Gue bukan bermaksud kasar, tapi ya emang udah lewat. Gue rasa lo nggak ada alasan buat minta maaf, jadi jangan ngerasa gitu. Dan, seandainya—" Ra menjeda ucapannya cukup lama, "kata itu nggak ada artinya selain bikin rasa sakit. Seandainya kan berarti kita mengandaikan, menyesalkan, hal yang udah lewat. Itu tindakan yang sia-sia, jadi gue harap lo nggak gunain kata itu lagi. Gue udah bilang kan, kalo gue baik-baik aja? Jadi jangan ngerasa bersalah. Karena itu bukan salah lo."

Ketika mendengar perkataan Ra, bukan merasa tenang, Grace justru semakin merasa tidak enak.

"Jangan dibahas lagi, oke? Semua udah selesai. Yuk, pulang!"

Grace menyambut uluran tangan Ra, dan mereka berjalan bersama menuju rumah.

To be continued...

- 3 July 2021 -

Grace's AngelsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang