Grace's Angels 31

21 6 5
                                    

Heyho! Apa kabar kalian hari ini?

Siapkan batin, part kali ini buat author aja bahkan menyesakkan.

Buat kalian yang sedang down atau sedih : semangat ya-! Semua akan baik-baik aja.

Stay safe and healthy

Happy Reading-!

∘˚˳°☆゚.*・。{ Grace's Angels }。・*.゚☆°˳˚∘

Grace's Angels 31

Grace mendekati H dan merangkul bahunya, ia tidak mengatakan apapun. Karena ia mengerti. Perasaan ini, ia sedikit banyak tahu tentang hal ini. Perasaan yang akrab yang selalu menghantuinya setiap saat. Yang dibutuhkannya adalah pelukan hangat, usapan lembut, dan telinga untuk mendengarkan. Tidak perlu mengucapkan kata-kata penghiburan, karena itu tidak penting. Kehadiran dan pengertian itu jauh lebih berpengaruh. Karena itu saja sudah cukup.

Tangis H tidak keras, ia tidak terisak jelas sekali sedang menahannya sekuat tenaga. Tapi, Grace tahu dari pundak yang gemetar itu, dari tiap tetes air mata yang terjatuh, dan eratnya kepalan tangan di atas meja. Ia tahu H sedang berusaha untuk berhenti menangis, dan ia tahu hal itu amat menyakitkan.

"Jangan ditahan, itu menyakitkan."

H meraih lengan Grace dan menggenggamnya, ia mulai menangis lebih banyak dan tanpa penolakan. Ia tidak berusaha menahan air mata itu, ia meluapkan segalanya. Ia tidak perlu khawatir karena ada seseorang di sebelahnya yang akan mendengarkannya.

Grace menunggu sampai H merasa jauh lebih tenang, selama menunggu ia menepuk pelan pundak atau kepala H berulang kali. Sepuluh menit kemudian H mengambil jarak, ia mengusap wajah dengan tangan. Grace menjulurkan tangan dan mengambil kotak tisu di atas meja dan memberikannya pada H yang langsung diterima.

Setelah memastikan wajahnya kering dan hidungnya lega, H menuju wastafel untuk membasuh wajah agar lebih segar. Ia kembali mengeringkan wajahnya sebelum menghadap Grace. Mata H masih memerah, diikuti pipi dan hidungnya.

"Maaf," katanya pelan sambil menunduk, "kenapa harus minta maaf? Menangis kan nggak ada yang larang." Grace menyela. "Jangan minta maaf," omelnya, H tersenyum tipis senyum pertama sejak ia menangis dan itu membuat Grace jauh lebih tenang. "Iya." jawab H dan kembali duduk di kursinya.

H menghela napasnya, kemudian melanjutkan. "Sebenernya gue nggak mau bilang gini, tapi, kayaknya lo mesti tau," Grace terdiam menunggu H menjelaskan. "Gue hidup dengan pertanyaan yang sama seperti persoalan mana yang ada lebih dulu, telur atau ayam," H menjedanya, menceritakan hal ini sama saja dengan membuka luka yang selama ini ia tutup rapat, luka yang belum dan tidak akan bisa sembuh.

"Gue selalu berpikir kalo gue hidup ya karena lahir begitu saja, tapi ini kan bukan zaman penciptaan manusia pertama, jadi jelas gue adalah telur yang butuh ayam supaya bisa menetas. Tapi, gue nggak tau siapa ayam gue. Siapa orang tua gue, ayah, ibu? Kalau mereka memang ada, mereka dimana? Apa mereka tahu kalo gue ini hidup? Kalau gue ternyata ada dan masih bernapas?"

Grace menahan napasnya, H menengadah mungkin untuk menahan agar air matanya tidak kembali tumpah.

"Grace, masalah lo mungkin berat buat lo, tapi bukan berarti yang punya masalah ya cuma lo doang. Hidup lo jauh lebih beruntung dari gue, lo punya orang tua, lo tau mereka, walaupun mereka udah meninggal tapi mereka pernah ngerawat lo, lo punya kenangan sama mereka. Dibanding sama gue, gue lahir gitu aja, ditaruh di panti asuhan, jangankan punya kenangan sama orang tua sewaktu kecil, atau dirawat sama mereka, gue bahkan nggak tau orang tua kandung gue siapa. Yang gue tau ibu gue adalah Bunda Asih, Bunda semua anak panti."

"Gue ngerti sedikit banyak tentang lo, kehidupan lo ditinggal kedua orang tua lo mungkin sulit, bibi yang menurut lo jahat itu, atau karena omongan orang-orang yang bilang kalo lo pembawa sial. Tapi, gue jauh lebih kenyang dengerin omongan orang yang bilang gue anak nggak jelas. Emang lo pikir jadi anak panti enak? Semua orang yang tau kalo gue tinggal nya di panti asuhan nggak ada yang mau dekat sama gue, mereka semua menjauh, dan gue udah ngalamin itu sejak usia 2 tahun. Kalo gue main di lapangan, anak-anak lain yang main di sana bakal ngeliatin gue seakan gue ini aneh, nggak ada orang tua yang ijinin anaknya untuk dekat sama gue seakan gue ini virus yang harus dijauhi, seakan gue ini bukan manusia."

Grace menepuk pundak H sekali lagi dan mengusapnya lembut, ia bisa melihat air mata yang menggenang di pelupuk mata H yang bisa tumpah kapan saja.

"Kalo lo pikir di dunia ini cuma lo doang yang punya masalah paling berat, lo salah." lanjut H.

"Dan gue bilang gini bukan berarti masalah gue jauh lebih berat, justru masalah gue masih bukan apa-apa. Karena gue punya Bunda Asih sama Babeh, punya 19 saudara di panti. Meskipun beberapa dari kita pergi karena diasuh sama orang tua asuh. Tapi kita masih nyempetin buat ketemu. Sekarang yang tinggal di panti asuhan pelangi ada sekitar 23 anak, masih pada kecil-kecil, paling gede ya seumuran kita. Bukannya lo udah ketemu mereka kan? Kadang gue mikir, apa salah kita? Kenapa kita nggak bisa seperti orang lain? Yang hidup dengan keluarga masing-masing dengan bahagia." H tercekat di akhir kalimat.

"Kak H," panggil Grace lembut.

H menoleh menatap Grace yang duduk di sebelahnya, "semua orang pasti punya masalah mereka masing-masing, karena itulah manusia. Masalah bukan membuat manusia jadi lemah tapi jadi semakin dewasa dan kuat." ujarnya.

H terdiam selama beberapa detik, "ya itu bener, dan itu juga berlaku buat lo." Sekarang gantian Grace yang terdiam, ia terkadang merasa kesal ketika kata-katanya berbalik untuk dirinya sendiri. "A-aku balik ke kamar dulu ya, ada tugas. Kak H udah gapapa? Jangan sedih lagi, kalau mau nangis atau cerita panggil aku aja." Grace kemudian buru-buru beranjak pergi ke kamarnya.

Ya. Semua orang punya masalah. Bukan cuma Grace, banyak orang yang hidupnya jauh lebih sulit. Sebenarnya ini tergantung dengan diri kita sendiri yang menanggapi masalah seperti apa. Yang harus dilakukan adalah bersyukur.

Ya, Grace punya tempat tinggal sekarang, ia bisa makan masakan Ra yang enak, ia bisa tidur di kasur yang empuk, ia masih bernapas, ia bisa berjalan, pancaindra nya bekerja dengan baik, ia masih bisa bersekolah, ia punya Anye, teman satu-satunya yang akhirnya ia miliki. Dan semua itu nggak mungkin ia dapatkan kalau bukan karena keempat lelaki ini yang datang dan menolong nya.

Oh, satu lagi, ia harus bersyukur karena akhirnya ia memiliki empat saudara laki-laki yang baik. Karena sekarang, ia tidak sendirian lagi.

To be continued...

- 4 September 2021 -

Grace's AngelsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang