Grace's Angels 23

16 5 0
                                    

Halo semuanya, apa kabar kalian hari ini?

Selamat datang kembali dan jangan lupa tinggalkan jejak-!

Stay safe and healthy

Happy Reading-!

∘˚˳°☆゚.*・。{ Grace's Angels }。・*.゚☆°˳˚∘

Grace's Angels 23

Ra mengusap mata nya yang merah dan sembab dengan tisu yang Grace berikan. Selama tiga detak jantung, ia mengatur napasnya yang masih sesenggukan. Grace menyodorkan gelas air yang tadi ia bawa, yang sekarang sudah tak lagi hangat. Setelah merasa bahwa Ra sudah dalam keadaan tenang, Grace mengambil jarak dan merangkai kalimat dalam benaknya.

"Kenapa nggak di coba dulu?"

Ra menatapnya dengan pandangan yang tak dapat ia artikan, mungkin ia akan berpikir bahwa Grace aneh dan tidak mengerti akan keadaanya. "Maksudnya, ya, aku tau, mereka udah ninggalin Kak Ra, terus sekarang mereka mau minta Kak Ra buat tinggal sama mereka. Aku tau mereka keterlaluan, tapi," Grace menjedanya, ia menatap wajah Ra menanti sanggahan dari cowok itu.

"Kenapa nggak di coba dulu? Coba untuk nerima mereka dan mengerti mereka, mungkin mereka bukannya mau manfaatin Kak Ra, tapi mereka menyesal dan baru sadar sekarang." lanjutnya, ia mengatakan tiap kata dengan penuh hati-hati. Ra hanya terdiam ia memfokuskan perhatian pada gelas kosong di tangannya.

"Kak, mereka menyesal, dan aku bisa lihat itu, mereka sedih dan kecewa saat kakak nolak mereka. Mereka berusaha buat nebus kesalahan mereka yang dulu, jadi aku harap Kak Ra mau pertimbangin itu." Sesudah mengutarakan maksudnya, Grace mengambil kembali gelas kosong, dan melangkah keluar kamar Ra. Saat baru saja ia menutup pintu kamar, ia dikejutkan dengan Nara yang bersandar pada dinding tak jauh dari samping pintu. Cowok itu menarik tangannya menjauh dari kamar Ra, kearah dapur.

"Lo bilang apa aja sama dia?"

Grace mengernyit, "aku bujuk Kak Ra supaya mau—"

"Nerima orang tua nya?" Nada bicara Nara penuh sarkasme.

"Gini ya, lo coba mikir, bukan dari apa yang lo lihat dari orang tua nya tapi dari Ra. Dari posisi dia." Nara menekan tiga kata terakhir. "Iya, aku ngerti kalau Kak Ra marah, sedih, kecewa, tapi—"

"Lo nggak ngerti!" Grace tersentak, genggaman tangan Nara di pergelangan tangannya mengerat. "Lo nggak mencoba buat ngertiin posisi dia," katanya "karena kalau lo ngerti, lo nggak akan bujuk dia untuk nerima orang tua nya."

Nara menatapnya tajam, tatapan yang baru pertama kali ini Grace lihat. Nara selalu bersikap ramah, dan tidak pernah mencengkeram lengannya dengan kuat seperti ini. Ia tidak pernah meninggikan suaranya, terlebih bersikap sarkastik seperti sekarang.

"Kalian ngapain?"

Nara menoleh ke arah Jean yang baru saja datang, kemudian melepas pergelangan tangan Grace dan pergi menjauh. Jean menatap Grace dengan bingung, namun Grace tak ingin mengatakan apa pun. Ia lalu melangkah pergi meninggalkan dapur dan menaiki tangga menuju kamarnya.

Kira-kira pukul setengah tujuh malam, pintu kamar Grace diketuk. Saat ia membuka pintu tersebut, ia mendapati H berdiri di sana dengan hoodie hitam dan celana jeans panjang. "Makan di luar, yuk!" ajaknya, "gue tunggu di bawah lima menit lagi, jadi siap-siap!" lanjut nya. Grace menutup pintu kamar, dan berganti pakaian. Ia mengenakan celana panjang katun berwarna navy dan mengenakan kaos lengan panjang berwarna peach bergaris biru navy.

Setelah itu, ia melangkah keluar. Saat ia menuruni tangga, ia bisa melihat H yang sedang berdiri di ujung bawah tangga sedang bercakap-cakap dengan Ra. Saat Ra melihatnya turun, ia mengulas senyum tipis padanya.

"Nah, yok!"

"Hati-hati, inget punya gue jangan pedes!"

H mengangguk-angguk saja, kemudian meraih lengan Grace dan berjalan menuju pintu.

Mereka berjalan kaki, kata H penjual nasi goreng langganannya mangkal tak jauh dari komplek perumahan mereka. Suhu udara sudah mendingin, namun langit belum terlalu gelap tentu saja sekarang bahkan belum pukul 7. Sembari berjalan Grace diam-diam memperhatikan H.

"Jangan liatin gue, nanti suka."

Grace mengalihkan pandang, menatap lurus ke jalan. "Apaan sih?" dalihnya.

"Makasih ya,"

Grace mengerutkan kening mendengar itu, "makasih buat apa?" tanyanya. "Karena lo, udah mau nenangin Ra." lanjut H, ia memasukkan kedua lengan kedalam saku hoodie nya.

Grace hanya diam karena setelahnya juga H tidak membuka suara lagi, tapi dari raut wajahnya, laki-laki itu terlihat lega. Ia tidak terlihat marah dan sekesal sewaktu mereka pulang sekolah, ekspresinya jauh lebih tenang saat ini.

"Kak H, sayang sama kak Ra ya?"

H menatap Grace kemudian mengangguk, "lo tau? Kita berempat tinggal di panti asuhan yang sama, udah sejak lama." katanya, Grace mengangguk sembari mendengarkan. "Pasti ada anak pertama yang tinggal disana, ya kan?" H menjedanya, matanya menerawang jauh seperti sedang mengingat-ingat.

"Dia itu Ra, anak pertama yang tinggal di panti." lanjutnya, Grace tidak pernah tahu akan hal itu. "Dia dititipin di sana sejak bayi, kayaknya baru beberapa minggu." H samar-samar terlihat sedih, "hubungan orang tua nya pelik, dan gue juga nggak terlalu ngerti. Tapi, intinya Ra lahir di luar hubungan pernikahan, jadi dia nggak diterima."

"Ra tumbuh tanpa orang tua kandung, ia nggak pernah mengecap kasih seorang ibu, atau pelukan seorang ayah. Saat Ra umur 4 tahun, gue pertama kali ketemu dia. Dia sama babeh lagi jalan pulang habis beli martabak, gue, dulu gue nggak punya rumah, gue tinggal di panti asuhan lain, tapi gue selalu kabur, pergi, karena gue nggak nyaman. Tapi hari itu, babeh dan Ra ajak gue pulang ke rumah mereka. Singkat cerita, gue jadi nyaman tinggal di rumah mereka, kita yang usulin buat bikin panti asuhan. Nama pelangi itu dari ide Ra, Ra suka pelangi, karena katanya pelangi itu indah, pembawa harapan setelah hujan."

H mengulas senyum pedih, "Pelangi itu pertanda, kalau dibalik awan kelabu dan petir menyeramkan, akan ada warna-warni indah. Ra bilang begitu, dan itu benar, bagi gue Ra adalah pelangi. Gue sendirian, hidup gue waktu kecil benar-benar nggak jelas, terlalu abu-abu, gue selalu kabur, dan nggak pernah tinggal lebih dari lima hari di panti lain. Tapi Ra, dia ajak gue untuk tinggal, ketika orang lain suruh gue untuk pergi."

Belum sempat Grace mengatakan apapun, H berteriak "Bang Toyib!" sambil melambai pada seorang mas penjual nasi goreng. Orang yang di panggil itu menengok dan tersenyum, "oit!" sahutnya. Lalu, setelah mengelap kedua tangannya dengan lap mereka melakukan salam tangan ala-ala dengan akrabnya.

Grace tidak tahu kalau H bisa berekspresi seperti ini, ia tidak menyangka bahwa beberapa saat yang lalu, lelaki itu terlihat penuh nostalgia dan kesedihan. Namun, lihatlah sekarang ia sudah mulai menyapa dua orang pembeli lain di sana sambil bercakap-cakap dengan Bang Toyib. Apa benar namanya memang begitu?

To be continued...

- 29 May 2021 -

Grace's AngelsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang