Grace's Angels 20

14 6 0
                                    

Warning!

Cerita ini mengandung adegan kekerasan dan pembullyan. Diharapkan kebijakan pembaca dalam menyikapi cerita ini.

Stay safe and healthy

Happy Reading-!

∘˚˳°☆゚.*・。 { Grace's Angels } 。・*.゚☆°˳˚∘

Grace's Angels 20

Waktu menunjukkan pukul 10 malam, dan mereka sedang berada dalam perjalanan pulang. H duduk di paling belakang, memposisikan dirinya untuk tidur seperti biasa. Ra duduk di depan, sebelah Jean yang sedang menyetir. Sementara, di tengah, Grace duduk bersama Nara yang sudah terlelap di sampingnya.

Hanya butuh waktu dua puluh menit untuk sampai di rumah, mengingat jalan yang sudah mulai sepi karena sudah malam. Sebenarnya, Bunda Asih menyarankan mereka agar menginap dan pulang esok pagi, namun Jean menolak dan mengatakan untuk pulang karena ia memiliki urusan besok.

"Selamat malam."

Setelah berpamitan, mereka masing-masing masuk ke kamarnya. Grace mencuci muka dan menggosok gigi terlebih dahulu sebelum jatuh terlelap. Ia bahkan lupa untuk menutup pintu dengan rapat, tapi kemudian seseorang datang, merapikan selimut dan menutup pintu itu setelah membisikan sebuah kalimat sederhana.

"Selamat tidur."

Esok pagi nya, mereka memutuskan untuk berolahraga pagi. Hanya berlari mengelilingi komplek. Jean tidak terlihat sejak pagi, kata Ra ia sedang pergi ke suatu tempat. Alhasil, hanya mereka berempat yang memutuskan untuk berlari pagi.

"Ya elah, cupu amat!"

"Heh, gue bukan lo ya yang cuma tulang!"

Grace menghentikan larinya, dan berbalik memandang Nara dan H yang sedang beradu mulut. H yang mengajak mereka untuk lari pagi dan ia duluan yang sudah menyerah di pertengahan, karena kelelahan. H duduk begitu saja di jalanan, ia terlihat berusaha mengatur napasnya. "Capek!" keluhnya sambil cemberut, Nara mencibir sikap H yang manja lalu lanjut berlari menyusul Ra dan meninggalkan dua orang lainnya di belakang.

Grace tertawa kecil, mengulurkan tangan kanannya "ayo, pelan-pelan aja!" katanya. H meraih uluran tangan itu dan bangkit berdiri, ia menepuk-nepuk belakang celananya yang agak kotor. Mereka berdua kemudian memutuskan untuk berjalan santai aja. Sampai beberapa menit kemudian, bukannya lanjut berjalan dan pulang H justru menghentikan dirinya di tukang bubur ayam.

"Oi, Mang Asep!"

Ia menyapa penjual bubur itu dengan akrab, bahkan melakukan tos ala-ala. "Widih, sekarang jalan sama cewek nih!" Mang Asep senyum-senyum sambil menarik-turunkan kedua alisnya. "Aduh, mang nih, bisa aja. Pesen dong, bubur dua." H kemudian duduk di kursi panjang yang tersedia. Ia menepuk tempat di sebelahnya, kode agar Grace ikut duduk bersamanya.

Tapi, yang duduk di sana bukan Grace melainkan Nara. "Bang, dua lagi ya!" katanya yang tentu saja di acungkan jempol oleh Mang Asep. Grace dan Ra ikut duduk, "loh, yang satu kemana? Si ganteng tinggi satu itu?" tanya Mang Asep seraya meletakkan empat mangkok berisi bubur di meja.

"Oh, si Jean? Biasa mang, pergi pacaran dia mah."

Mang Asep terlihat mengerti, ia mengangguk-angguk saja lalu kembali melayani pelanggan lain yang minta dibawa pulang.

"Kenapa? Nggak suka bubur?"

Grace mengerjap dan menatap H, "nggak, kok." jawabnya. Mereka mulai makan, ternyata makan di rumah maupun diluar tak ada bedanya. H tetap saja rusuh, padahal ia memiliki jatahnya sendiri tapi sepertinya makan dengan damai tidak ada dalam kamusnya. Sendok yang ada ditangannya selalu menyasar pada mangkok Nara, yang berujung adu mulut.

Setelah selesai, mereka berjalan pulang ke rumah. Ra dan Nara berjalan lebih dulu di depan, sementara H dan Grace di belakang. Saat sudah hampir sampai, langkah Ra dan Nara terhenti membuat H yang belum sempat menyadari situasi menabrak punggung Nara. Mereka sedikit oleng sebelum akhirnya bisa menyeimbangkan diri.

Grace melongokan kepalanya ke depan, dan mendapati sebuah mobil Pajero hitam terparkir tidak jauh dari rumah mereka. Grace tidak tahu mobil siapa itu, dan kenapa ketiga laki-laki dihadapannya memandang mobil itu dengan was-was.

Grace melihat H yang melirik pada Ra bergantian ke arah mobil di depan, Nara yang duluan sadar dari diamnya. Ia menatap Ra, merangkulkan lengannya di pundak cowok itu. Grace tidak bisa mendengar apa yang ia bisikan, tapi kemudian Ra kembali berjalan maju. Saat mereka sudah berada di halaman rumah, H mengajak Grace untuk masuk lebih dulu membiarkan Ra dan Nara di luar.

Grace merasa ini adalah sesuatu yang bersifat personal, maka ia menurut, mengikuti H masuk ke dalam rumah. Grace baru saja kembali turun dari lantai atas ketika pintu terbuka dan Ra masuk dengan wajah datar dan tangan terkepal erat di samping tubuhnya, disusul oleh Nara yang menatapnya cemas.

Melirik ke arah pintu di sana berdiri seorang pria, usianya berkisar di pertengahan tiga puluh tahun. Mungkin tiga puluh lima, tapi wajahnya masih terlihat muda. Ia mengenakan kemeja rapi, dengan celana bahan berwarna hitam. Sepatu pantofel, dan dasi yang mengikat di lehernya. Sekilas, ia terlihat seperti seorang karyawan kantor. Ada urusan apa ia datang ke sini?

Pria itu menunduk sedih, menatap ke arah kedua sepatunya yang mengkilap. Kemudian, ia berbalik dan melangkah menjauh. Nara menyusul Ra, menyisakan Grace sendirian di ruang tengah. Ia pergi ke dapur, mengambil sebuah gelas dan mengisinya dengan air hangat. Ia kemudian membawa air itu menuju kamar Ra, tangannya sudah terarah untuk mengetuk pintu. Tapi, Nara sudah lebih dulu membukanya.

Lelaki itu menatapnya bergantian dengan gelas air di tangannya, kemudian memilih untuk berjalan pergi menuju kamarnya dan H. Dari ambang pintu, Grace bisa melihat betapa kacaunya ruangan tersebut. Ra duduk di pinggir kasur sambil meremas rambutnya.

Memberanikan diri Grace melangkah masuk, dan meletakkan gelas tersebut di atas meja belajar. Ra menoleh padanya, kemudian membuang pandang. Grace mengulurkan tangan berusaha menggapai pundak Ra. Ia mengusap pundak lelaki itu, ia tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, yang ia tahu sekarang ia harus menenangkan cowok ini.

"Pergi,"

"Tinggalin gue sendiri."

Grace tidak membantah, ia menghela napas perlahan dan menunjuk gelas di atas meja. Setelah itu, dia berjalan menuju pintu. Sebelum Grace menutup rapat pintunya, ia bisa mendengar isak tertahan. Begitu memilukan, apa yang sebenarnya terjadi?

To be continued...

- 8 May 2021 -

Grace's AngelsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang