Aroma yang familiar menyeruak menabrak hidungnya. Niken membuka mata dan mendapatkan kamar asing. Udara begitu dingin. Dia menyingkap selimut tebal yang menutupi dirinya. Pakaiannya masih lengkap. Dia mengedarkan pandangan. Ini bukan kamarnya.
Niken berjingkat keluar dari kamar yang dia tahu pemiliknya.
"...tapi... El..."
"Sudah sana.. pergi!" Ceklek!
Niken tak sempat melihat wajah wanita yang Valen dorong punggungnya itu. Tapi jelas itu bukan Merida.
"Pak Valen.."
Valen membalik dan mendapatkan Niken sudah keluar dari kamarnya. Dia mendekati Niken. "Apakah aku berisik?" Valen menggaruk tengkuknya. "Maaf, kembalilah tidur"
Niken melirik jam dinding. Pukul 1 dini hari. Dia harus pulang.
"Kau tak akan kemana-mana. Tidurlah di sini. Kau terlalu lelah dan depresi" ucap Valen tenang, menyadari Niken melirik jam dinding. Dia duduk di sofa. Pakaiannya sudah lebih santai. Celana jeans hitam dan kaos oblong abu polos.
Niken mendekati Valen dan duduk berjarak di samping lelaki itu.
"Kau tak takut padaku?"
"Apakah itu kekasih pak Valen?" Tanya Niken terburu.
"Bukan, kakakku. Dia mampir sebentar tapi harus ke bandara. Dia memintaku mengantarnya. Aku tak bisa" jawab Valen santai.
"Kenapa?" Tanya Niken.
"Kenapa?" Valen menimang jawaban apa yang paling tepat. "Karena kau di sini, dan lebih membutuhkanku ketimbang dia" jawab Valen seadanya.
Niken menunduk.
"Jadi, kau siap memberitahuku?"
"Aku.."
"Apakah ayahmu telah menyentuhmu? Tanpa seijinmu?" Selidik Valen begitu saja.
Niken terkseiap. "Tidak. Dia tidak menyentuhku" desah Niken berat. Haruskah? Siapa Valen? "Lebih tepatnya, tidak sengaja" papar Niken.
"Saat itu gelap, om Hedi baru pulang dari kantornya. Dia mabuk dan mengira aku istrinya" ungkap Niken.
"Kau tahu dia sengaja atau tidak sengaja? Dengan pasti?" Valen menatap Niken lekat. Meski gadis itu tidak melihatnya balik, tapi Valen tahu bahwa gadis itu tahu Valen sedang menatapnya lekat.
Niken mengangguk. "Dia menggumamkan nama mama. Dan saat dia tahu aku bukan istrinya, dia sangat syok. Dia menatapku terluka" jawab Niken.
"Benarkah?" Ragu Valen.
Niken kembali mengangguk. "Benar. Om Hedi sangat menyayangiku. Menganggap aku anaknya sendiri. Sejak aku kecil.." lirihnya di akhir kalimat.
"Lalu kenapa kau sekalut itu?" Tanya Valen tanpa ragu.
"Aku.. itu.. i.. i.." Niken menatap Valen dan buru-buru membuang wajahnya.
"Kau sakit Niken.."
Kedua bahunya meluruh lemas. Benar. Dia sakit. Dan sakitnya bertubi-tubi. "Benar.. aku.. sakit.." ucapnya basah dan bergetar hingga akhirnya cairan bening kembali meleleh dari kedua matanya.
Lengan Valen terulur dan menempatkan Niken dalam dekapannya. Mengelus surai hitamnya. Menepuk punggungnya pelan.
"Aku.. sakit... Dia memanfaatkanku.. aku.." dan Niken benar-benar terisak. Valen tak tahu lagi gumaman Niken tentang apa. Pemikirannya tentang Niken semakin rancu. Mana yang benar? Dan mana yang belum benar?
🐵
Niken tetap memaksa pulang dan Valen memaksa untuk mengantar.
Dengan langkah mengendap-endap, sulit membedakan maling dan Niken. Dia akhirnya berhasil memasuki kamarnya tanpa merasakan tatapan atau teguran. Itu berarti kepulangannya tanpa ketahuan seorang pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Still (END)
General FictionKenangan-kenangan masa lampau yang terlupakan. Tapi pada suatu hari, harus dipaksa mengingatnya kembali. Banyak hal yang membuat luka itu semakin menjadi-jadi hanya untuk menjadi sembuh. Dapatkah luka itu sembuh? Sudah separah ini, apakah tidak akan...