13 Faktanya

555 55 8
                                    

"...Niken.."

Niken tetap terdiam. Dia mematung menatap lautan kosong. Ombak bergelung hebat seolah badai besar sedang bertarung di jauh sana. Dia ingin melompat kedalamnya saat ombak itu datang bergulung-gulung. Berharap ombak membawanya pergi.

Valen memeluk Niken dari punggungnya. "Jangan pergi," bisik Valen penuh permohonan.

Niken tetap hening. Kedua tangannya masih rapi bersidekap.

"..Niken, kamu mendengar panggilanku? Niken,"

🐵

Hampir pukul 1 dini hari Valen menggebrak pintu kamar kos Niken. Memaksa Niken membukanya demi menghentikan kerusuhan agar Kenneth tidak terbangun. Dia sudah bersiap seandainya Valen bicara terlalu keras atau melakukan kekerasan lainnya. Namun,

Valen membeku menatap Niken. Kemudian memeluknya erat begitu saja. "Jangan begini Niken, aku takut kalau kamu seperti ini" bisik Valen.

Niken menutup pintu kamar dan beranjak pergi setelah Valen melepaskan pelukannya ketika tidak mendapat respon apapun dari Niken.

Mereka berdiri membisu di pantai. Angin dingin yang berhembus mungkin bisa sedikit mendinginkan kepala Niken. Beberapa helai rambutnya mengayun oleh sentuhan angin. Niken mematung menatap pekatnya pantai di hadapan mereka.

Tidak satupun dari mereka yang membuka suara. Hanya suara air deburan ombak yang mengisi pendengaran mereka.

Beberapa gelintir manusia lewat dengan bisu sama seperti mereka. Hingga panggilan Valen memecah keheningan diantara mereka.

Tak tahan dengan sikap kekasihnya, Valen memutus jarak diantara mereka dengan pelukannya.

"Niken, ayo pulang.." pinta Valen. Niken tetap diam.

"Niken, ini tidak baik. Kita bisa membicarakan ini bersama, dengan baik-baik" kata Valen perlahan.

Kedua bahu Niken bergetar halus. Kedua lengannya jatuh luruh di kedua sisi badannya, tangannya mengepal erat. Dengan lambat dan pasti, nafasnya memburu.

Valen begitu terkejut ketika Niken tadi membuka pintu dengan sangat tenang. Wajah kekasihnya semakin putih dan kaku. Valen lebih terkejut lagi saat menatap kedua mata Niken. Seketika dia merasakan dingin menyergap punggungnya. Dia sekejab menggigil ketakutan.

Kedua mata Niken menatap Valen. Mata itu begitu dalam dan gelap. Sorotnya dingin dan teramat tajam. Pandangannya lurus menghunus dalam mata Valen. Kemarahan jelas terpancar dari sana namun membeku. Sinar matanya begitu kejam memancar. Niken siap membunuh siapapun yang mengganggunya. Bayangan Niken lebih gelap dari malam ini.

"Ayo kita obati luka kamu sayang. Aku mengerti itu terlalu sakit, aku akan selalu disamping kamu" bujuk Valen. Suaranya seringan bulu.

"Papa meninggal karena mereka. Mereka mengkhianati kepercayaan papa. Papa menganggap mereka adalah bagian hidupnya. Tapi mereka dengan sadar telah merongrong papa, membunuh papa dengan sangat keji. PENDOSA SEPERTI MEREKA TIDAK PANTAS HIDUP!!" Teriak Niken. Kedua bahunya bergerak naik-turun sudah tak mampu meredam emosinya. Nafasnya berhembus kasar dan tatapan matanya berkobar penuh kebencian dan amarah.

"Niken!!"

"MEREKA PENDOSA!! PEMBUNUH!!"

"Niken, mereka orang tua yang mengasihi kamu!!"

"AKU TIDAK MEMILIKI ORANGTUA BERLUMUR DOSA!!"

"Niken, Veronica melahirkanmu! Merawatmu!"

"OMONG KOSONG!!"

"Niken,!!!"

"BERHENTI!! CUKUP!! PERGI!! PERGIII!!!!!" Niken tak putus berteriak. Dia jatuh diatas kedua kakinya meringkuk di atas pasir dan menangis histeris.

Still (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang