Niken berjalan dari halte bis ke rumahnya. Memang agak jauh dan terasa semakin jauh. Kakinya benar-benar capek karena seharian dia pontang-panting karena mbak Amel tumbang.
Lumayanlah. Capek bener!!!!
Sampai di rumah tidak ada sambutan sikecil. Berarti Ken sudah tidur. Jam menyentuh angka 10. Hebat! Dia beneran lembur setelah setahun bekerja.
"Kenapa Niken?" Hedi menatap Niken agak mengernyit setelah memperhatikan anaknya berjalan agak aneh.
Niken hanya diam, dia menyeret kakinya ke lantai atas. Capek, pengen rebahan.
Veronica muncul dari arah berlawanan. Menerjang bahu Niken dan memaksanya duduk di sofa ruang tengah.
Niken menatap tajam mamanya. Tanpa mengucapkan sepatah katapun.
"Ven!" Hedi memprotes tindakan istrinya. Dia meletakkan gelas di tangannya ke meja dan segera menengahi ibu dan anak yang sedang beradu tatap sengit itu.
"Salah mama apa sih Niken?!!" Serbu Veronica. Dia berdiri menjulang di hadapan Niken. "Mama sudah sabarin kamu bertahun-tahun! Tapi kamu tetep diemin mama!!" Sentak Veronica.
"Ven, bisa bicara baik-baik. Nggak perlu teriak" ucap Hedi pelan.
"Aku teriak aja dia nggak denger mas! Apalagi aku ngomong pelan!" Protes Veronica. "Kamu keterlaluan Niken! Kalau mama salah tunjukin di mana salahnya! Biar mama perbaikin! Nggak gini caranya!!" Teriak Veronica.
Niken hanya diam. Menatap ke arah lain.
"Ngomong Niken!! Jangan diem aja!!" Teriak Veronica makin histeris.
"Mama mau Niken ngomong apa?" Ucap Niken akhirnya, datar. Dia menghela nafas berat menatap mama.
"Maksud kamu apa?!! Kamu salahin mama terus!!!"
"Niken nggak pernah ngomong apa-apa. Kenapa mama malah nuduh Niken nyalahin mama?" Balik Niken. Niken beranjak dan melangkah pelan. Kakinya masih sakit.
"Kakimu kenapa Niken?" Tanya Hedi penuh perhatian.
Niken berhenti satu detik lalu melanjutkan langkahnya tanpa menoleh tanpa menjawab. Veronica serentak menarik bahu Niken memaksanya menghadapnya seketika menampar wajah putrinya.
Niken sempat memejamkan kedua matanya. Kemudian dia menatap datar mamanya. Berdenyut-denyut terasa di pipi kanannya. Panas menjalar akibat terpaan telapak tangan mamanya. Sakit memang, tapi di sudut rongga dadanya jauh lebih sakit dari pipinya.
Veronica agak tersentak dengan tindakannya tapi urung mengakuinya. Wajahnya kembali kaku menatap anaknya.
Hedi segera menghampiri kedua wanita itu yang telah jauh beberapa langkah darinya. Menarik lembut lengan anak tirinya. "Niken, om lihat!" Hedi membelai pipi Niken cemas namun Niken menepisnya dengan keras.
Niken melarikan kakinya secepatnya menjauhi mereka. Terseok menapaki tangga dan membanting pintu kamarnya.
"NIKENNNN!!!" jerit mamanya dengan kesal dan sakit hati.
Niken tak perduli. Meski setelah mamanya menjerit, terdengar adu mulut yang tidak kalem itu.
Niken membenamkan wajahnya di bantalnya. Aliran bening berlinang deras dari kedua matanya. Dia sangat membenci mamanya. Terlebih saat om Hedi menatapnya getir tadi.
Ada luka yang kembali basah dalam dirinya. Dan dia semakin terpuruk saat tak mengetahui penyebab luka itu ada. Dia tak dapat memahami dirinya mengapa dia bisa mendiamkan mamanya sekian lama. Mengapa dia tak mampu menerima kehadiran om Hedi. Mengapa dia tak kunjung memafkan mereka berdua? Sebenarnya dimana mama melukainya? Mengapa dia sangat membenci kehadiran om Hedi yang jelas begitu menyayanginya? Sebenarnya apa salah mereka pada Niken?
KAMU SEDANG MEMBACA
Still (END)
Fiksi UmumKenangan-kenangan masa lampau yang terlupakan. Tapi pada suatu hari, harus dipaksa mengingatnya kembali. Banyak hal yang membuat luka itu semakin menjadi-jadi hanya untuk menjadi sembuh. Dapatkah luka itu sembuh? Sudah separah ini, apakah tidak akan...