Niken masih menggelung tubuhnya di dalam selimut tipis. Dia malas bergerak, apapun itu. 2 hari penuh dia tetap menggeliat di atas tempat tidurnya. Dia bangun hanya untuk sekedar kebutuhan mendesak toilet. Itupun jarang, tak ada asupan apapun yang ia masukkan ke dalam mulutnya. Dia terlampau malas. Makan, bernafas saja rasanya dia malas.
Sinar matahari menimpanya, sama seperti siang kemarin.
Kamar kos yang dia sewa memang sempit, tapi lengkap dengan kamar mandi. Semakin mendukungnya untuk menjauhkan dirinya dari hiruk pikuk dunia luar.
Kawasan kosnya juga lumayan menyendiri dari pada kos-kosan di sekitar yang ramai. Apalagi di area pantai Parangtritis. Kesan suram dia dapatkan pertama kali saat menemukannya, tak sengaja dia melempar pandangannya setelah bosan menghitung ombak pantai selatan kala itu.
Tapi tidak apa, Niken senang. Jauh dari jangkauan mata orang-orang dan murah. Ya, dia harus berhemat mulai sekarang. Dia belum ada rencana apapun untuk memulai mencari pekerjaan. Setidaknya bukan sekarang. Niken ingin sendiri. Kesepian membuatnya merasa jauh lebih nyaman.
🐵
"Iya, mau bagaimana lagi. Saya pasrah saja pada Anda"
"Jangan begitu. Kami mempunyai beberapa arsitek muda yang sangat kompeten. Pemikiran mereka sangat modern. Anda bisa memilih untuk menuangkan imaji Anda" tutur Valen.
"Saya senang bertemu dengan Anda"
"Saya senang jika keinginan Anda terpenuhi" jawab Valen.
Hari menjelang sore. Sang pencerah sudah hampir lengser memberikan semburat jingga yang sangat indah di ujung barat. Delman yang mereka naiki terhenti, memberikan dua mahluk Adam itu untuk menikmatinya. Kusir membisu.
"Indah sekali. Saya tak sabar memiliki hunian di kota ini" ucap klien dengan rona bahagia.
"Saya akan segera mewujudkannya"
"Terimakasih pak Valen.."
Valen mengangguk sekilas. "Jika Anda masih mempunyai waktu, saya bisa memberikan servis makan malam" tawar Valen formal.
"Jangan berbohong, saya tahu Anda terlalu sibuk untuk sekedar menemani saya"
Valen terkekeh pelan. "Setidaknya saya jujur kali ini"
"Kekasih Anda mendadak hilang?"
Valen tertawa nyaring. Jelas paksaan. Pasti kliennya mendengar desas-desus gila mengenai dirinya.
Klien pria seumuran adik ibunya ini tertawa mendapatkan tebakannya yang benar. "Masa muda memang indah" komentarnya.
Mentari telah separuh termakan cakrawala. Seorang dari atas delman turun. "Terimakasih pak Valen. Saya harap ini secepatnya"
Valen mengangguk. "Saya akan berikan kabar baik minggu depan" jawab Valen. Pria itu beranjak sambil melambaikan tangan. Tinggalah Valen seorang. Dia melemparkan pandangan ke sepanjang tepi pantai. Sepi, tidak seperti biasanya.
"Saya turun di sini pak!" Ujar Valen terburu. Hampir melompat dia turun dari atas delman. Sang kusir hanya melongo melihat tingkah buru-buru penumpangnya.
Valen segera melepas jas yang sejak tadi membungkus tubuhnya, berikut ponsel, dompet, serta kunci mobilnya. Dia lempar pada sebuah bangku rotan panjang di bawah pohon kelapa yang melandai. Dia lalu berlari menerjang air pantai. Terus melawan deburan ombak hingga pinggangnya. Sial!! Dia lupa sepatunya. Menyulitkannya bergerak cepat.
Valen menarik sebuah bahu yang tetap teguh itu meski beberapa kali deburan ombak tinggi telah menenggelamkan hingga kepala seorang itu.
Valen mendekapnya saat sebuah ombak lebih tinggi akan menyergapnya. Dan kini ombak itu menyergap mereka berdua. Jantung Valen berderak keras dan menyakitkan. Valen segera menyeret perempuan itu ke tepi. Dia tidak menolak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Still (END)
Ficção GeralKenangan-kenangan masa lampau yang terlupakan. Tapi pada suatu hari, harus dipaksa mengingatnya kembali. Banyak hal yang membuat luka itu semakin menjadi-jadi hanya untuk menjadi sembuh. Dapatkah luka itu sembuh? Sudah separah ini, apakah tidak akan...