14. Terus Mengganggu

4 0 0
                                    

Sebelum kalian lebih lanjut untuk mulai membacanya, jangan lupa pencet bintang di pojok kiri bawah. Serta, tinggalkan komen di setiap paragraf. ')

Xixie,
-sausankml

_______________________________________
__________________

Kantin, tempat kami berada saat ini. Suasananya yang ramai cukup membuatku jengah. Apalagi dengan adanya kak Bagas yang ikut duduk di sebelahku. Yang tadinya aku bersama Reni, malah menyisakan aku dengan kak Bagas. Dasar Reni, tidak bisa mengerti situasi! Huh!

Aku yang ditinggal Reni tidak bisa melakukan hal lain sesukaku dengan bebas. Hanya bisa diam, saling diam-diaman dengan kak Bagas. Lagi-lagi perasaan yang aneh datang menyelimutiku jika aku berdua dengan kak Bagas.

Tak hanya itu, aku pun tidak menjawab ketika pertanyaan yang satu ini keluar dari mulut kak Bagas. "Jadi gimana jawaban lo, Jar?"

Aku terdiam dan kak Bagas yang juga tidak memulai pembicaraan. 'Hei, keadaan seperti ini membuatku merasa aneh!' Padahal, kami berdua sudah dari tadi berada di kantin. Entah kenapa, untuk minggat duluan dari bangku kantin rasanya amat membingungkan. Kak Bagas pula sudah sedari tadi duduk di sebelahku dan tidak mau pergi. Tidak ada tanda-tanda sedikit pun darinya untuk minggat dari kantin.

Padahal, teman-teman kak Bagas berteriak memanggilnya guna mengajaknya bermain basket. Hal itu membuatku malu sekaligus menjadi semakin jengkel dengannya. Pasalnya, teman-teman kak Bagas seakan-akan meledekku dengan lontaran kata-kata dari mulut mereka. Ya, aku merasa terganggu dengan ucapan-ucapan dari mereka. Karena memang terdengar cukup menyakitkan. Apalagi teriakan mereka terdengar oleh murid lain.

"Yang lebih cantik banyak yang nunggu lo, Gas, Gas! Bodoh banget jadi orang!"

"Gak ditanggepin tuh, udahlah. Ngapain ngejar dia mulu, sih?"

"Ayo maen basket aja, banyak cewek yang nunggu lo maen basket tuh!"

Jujur, sejujur-jujurnya dari relung hatiku yang terdalam. Ini baru pertama kalinya aku merasa risih dengan keberadaan seseorang di dekatku. Memang, makan siang dengannya merupakan impian para siswi di sekolahku ini. Tapi, tidak denganku. Sudah kubilang, aku tidak ingin pacaran, tetapi kak Bagas terus-terusan mendekatiku.

'Kak Bagas ada rencana apa, sih? Mau bikin aku malu di hadapan banyak orang, kah? Capek banget sama keadaan kayak gini!'

Yang aku mau dan aku harapkan sekarang hanyalah: SIAPA PUN, KE MARI DAN BAWA PIJAR PERGI DARI TEMPAT INI SEKARANG JUGAAA!

Harapan sih harapan. Tapi, siapa yang mau membawaku pergi dari kantin ini? Yang kulakukan pun hanya bisa diam menahan segala rasa malu dan amarah yang ingin segera meledak. Hingga akhirnya aku lepas kendali. "MAKSUDNYA APA SIH, KAK?! LO BELUM PUAS GANGGU GUE?! TERUS LO NYURUH TEMEN-TEMEN LO BUAT TERIAK-TERIAK NGATAIN GUE KAYAK GITU?! UCAPAN TEMEN-TEMEN LO TUH NYUDUTIN GUE, KAK! SEAKAN-AKAN GUE INI JELEK BANGET! MAU LO GIMANA SIH, KAK?! DIPIKIR GUE GAK MALU APA?! LO MASIH BELUM PUAS SAMA JAWABAN GUE KEMARIN?!" bentakku sambil menggebrak meja.

Yash, amarahku mengalir berbarengan dengan bentakkanku kepada kak Bagas. Napasku tergesa-gesa ditambah dengan suhu udara pada siang hari ini seakan-akan mendukungku untuk melampiaskan, mencurahkan, menumpahkan segala amarahku padanya secara tuntas.

'Gak, lo gak bisa kayak gini, Jar! Lo harus balik ke kelas! Daripada lo yang makin sakit hati gaa-gara omongan mereka! Kalo lo ngeladenin kak Bagas dengan emosi, nanti temen-temen kak Bagas malah makin menjadi-jadi. Apalagi kondisi kantin lagi rame banget. Ayo, ayo berpikir yang jernih, Jar! Pikirin gimana caranya lo berkata-kata dengan baik!'

Aku berusaha meredakan amarahku. Aku yang semula berada di posisi berdiri dengan tangan yang berada di atas meja, kini diriku mulai mengambil posisi duduk. Kuatur napasku sebaik mungkin.

'Gak boleh emosian kayak gitu, Jar. Inget, membalas hal buruk dengan hal buruk itu tidak akan menyelesaikan masalah.'

Masih dengan keadaan kantin yang ramai. Aku mencoba mendinginkan kepalaku dan emosiku. Aku butuh waktu beberapa menit! Ya, meski ucapan teman-teman kak Bagas masih menggema di telingaku. Mereka tidak kunjung berhenti mengoceh. 'Hm, oke.'

"Kak," panggilku dengan nada yang pelan.

Sial, aku tak kuasa menahan rasa sedih. 'Kenapa malah pengen nangis, sih? Tahan dulu, Jar! Nanti lampiasin rasa lelah dan juga rasa sedih ini di rumah, oke!'

"Aku ke kelas, ya. Makasih udah bayarin makan siang Pijar," pamitku kepada kak Bagas.

Aku tak kuasa lagi menahan segala hal yang menggangguku. Aku tak kuasa lagi berdiam diri terlalu lama di kantin. Daripada nanti aku malah menangis di kantin dan jadi tontonan banyak orang, itu lebih memalukan, bukan?

Tidak, aku tidak akan ke kelas secepat ini. Sebenarnya, yang kutuju ialah toilet. Ingin rasanya menumpahkan sedikit kekesalan dan juga kekecewaanku sebentar. Atau mungkin ini hanya naluriku yang menuntunku ke toilet sebagai tempat untuk memuaskan emosi sejenak.

Aku berjalan dengan cepat menuju toilet. Tapi, ingin pergi dari kantin saja rasanya juga tidak enak. Sebab, teman kak Bagas masih mengganggu dengan lontaran kata dari mulut mereka.

"Mau ke mana, tuh?"

"Malu, ya?"

"Makanya jangan ngegantungin Bagas, Cuy! Baru jadi anak kelas sepuluh aja belagu!"

Selangkah, dua langkah, aku berusaha tidak menggubris mereka. Lagipula, apa daya diriku yang seorang diri jika harus menggubris mereka? Mau dapat yang lebih menyakitkan hati daripada ini? Tidak, kan? Aku lanjutkan saja langkahku dan akhirnya aku sampai di toilet dekat kantin. IYA, MASIH DI DEKAT KANTIN!

Tanpa pikir panjang, langsung saja aku masuk ke dalam toilet. Kupilih bilik paling ujung supaya lebih puas saja bilamana aku tiba-tiba menangis. Hm, benar. Baru saja menutup pintu aku sudah bersandar di balik pintu dan tak terasa air mataku menetes. Janjiku? Maaf, tidak bisa kutepati. Nyatanya aku menangis di sekolah, bukan di rumah.

Pikiranku melayang-layang, mengingat segala ucapan mereka yang membuatku sakit hati. 'Kenapa? Pijar ada salah kah?'

Ada banyak pertanyaan yang mengitari kepalaku. Pertanyaan-pertanyaan yang terbang bebas seakan-akan mencari jawaban yang tepat. Tapi, semua pertanyaan itu tak kunjung mendapatkan jawabannya.

Sejak lama, sejak awal kali ingin menginjak bangku SMA. Aku sudah berjanji untuk tidak dekat dengan cowok dulu, kan? Awal masuk sekolah pun, saat kak Bagas mendekatiku, aku berkata dalam hati untuk tidak boleh mengenal cinta se-dini ini, kan? Aku sudah berusaha menghindar. Aku pun menghindar juga dengan alasan. Tapi, kenapa kak Bagas masih saja mengejarku?

Napasku tak beraturan. Aku berusaha mengatur napasku sebaik mungkin, tapi tetap saja tidak bisa. Yang ada aku malah semakin tak kuasa menahan sedihku. Dan juga, kenapa di saat seperti ini aku malah berpikir kalau semua teman kak Bagas melakukan itu atas dasar perintah kak Albenia. Apa aku salah?

Yang kuingat, kak Albenia memintaku untuk menjadi temannya. Padahal, saat itu tidak ada hal yang kulakukan untuk membuat kak Albenia mengatakan itu. Aku hanya mengingat kalau kak Albenia menerima penawaran dari kak Bagas, penawarannya itu kak Bagas akan menuruti semua keinginannya kak Albenia, kan? Atau aku terlewat sesuatu?

'Apa iya Pijar harus ngerasain sakit mulu? Pijar juga pengen bebas tanpa adanya gangguan. Dan, kalau memang Tuhan gak izinin Pijar buat ngerasa bebas tanpa ada gangguan, tolong jadikan Pijar wanita kuat, tolong.'

Aku mengelap air mataku kasar. "Katanya kuat, Jar. Udah dong nangisnya, hehe."

Itu, itu kalimat untuk menguatkan diriku. Kalimat yang memang tidak seberapa, tapi mampu meredakan sedihku. Aku hanya bisa menyemangati diri sendiri agar bangkit kembali. Kembali seperti biasa tanpa memikirkan segala hal yang baru saja terjadi. Lupakan.

_______________________________________
__________________

Lagi dan lagi, jangan lupa votement-nya, share ke temen-temen kalian! Katanya Sausan, biar aku makin semangat.

find me on ig: @san.kml

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 27 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ma FutureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang