Kebanyakan orang-orang hanya sibuk memusatkan diri untuk mengomentari hidup orang lain, tapi parahnya ia malah kesulitan membenahi dirinya sendiri.
•••••
Terlepas dari skripsi, revisi yang membelit, hingga sidang berlangsung, siapa yang tak bergairah tentang ini?
Masalahnya, kita tidak membicarakan tentang ‘senang’, tapi tentang yang terjadi setelahnya. Kerja atau menikah?
Dunia kerja kini menunggu Aleea Sena Gautama untuk segera memanfaatkan kinerja, tapi umurnya juga sudah matang untuk memulai berumah tangga. Apalagi isu menikah di atas umur 25 bagi perempuan dinyatakan sulit hamil, siapa yang repot? Namun, mental kedua pernyataan bertolak belakang itu juga tak bisa diragukan, apalagi hanya dilihat sekali pandang. Meresahkan.
Lepas dari dunia kampus justru membawa Aleea pada ujian seberapa dewasa dirinya. Belum lagi desakan orang-orang yang selalu, “Kamu harus bisa mendapatkan ini!”
Kini bukan lagi tentang hura-hura, ada dunia realita yang menyapa. Sanggupkah dirinya untuk berbenah? Sedangkan sampai saat ini saja ia masih menumpang di pesantren tempat ia belajar dulu.
Pre-adult. Di umur yang baru menginjak 22 tahun ini harus mendapat gelar baru sebagai orang yang dapat untuk dinyatakan dewasa, meskipun agaknya kemarin baru lulus SMA. Life is hard.
“Happy graduate to us!” riuh teriakan mewah pasca perayaan kelulusan masih terngiang jelas di dalam ingatan Aleea, bahkan di saat raganya mulai melangkah jauh dari tempat di mana ia melanjutkan perguruan tinggi.
“Baru kemarin, tapi ternyata udah kangen,” gumamnya. Paling ingat saat berkuliah, Aleea ingin cepat-cepat lulus dan berjalan melanjutkan kehidupannya yang lebih realita. Kini, setelah bebas dari kuliah, justru dunia itu yang yang ia rindukan sekarang. Setidaknya gadis itu tidak merasa bahwa dunia seserius ini sekarang.
“Aleea.” Seseorang memanggil lembut membuat Aleea memusatkan netranya ke arah pria tua dengan serban yang menenteng di kedua pundaknya.
Aleea mengangguk sambil menampilkan senyumnya.
Pria itu mengambil posisi duduk di sebelah Aleea dengan jarak yang tidak terlalu dekat. “Umur kamu udah matang buat pergi ninggalin pesantren ini. Kamu bahkan udah lulus kuliah sekarang, pulang, Nak. Orang tua kamu pasti rindu putrinya bersenda gurau di rumah.”
“Saya belum siap melepas masa saya di pesantren ini, Kyai.”
Gadis itu tahu umurnya kini tidak lagi muda untuk terus mengabdi di pesantren terpandang milik Kyai Hamzah. Ia tahu seharusnya ia pulang dan duduk bersama keluarganya sendiri saat ini. Namun, status istimewa yang terpatri dalam dirinya membuat Aleea menyayangkan jika harus pergi, padahal sudah hampir 10 tahun ia hidup di lingkungan yang menjunjung tinggi nilai moral.
Bukan, ia bukannya tidak mampu untuk mencari pekerjaan di luar pesantren ini, tapi ketentraman di pesantren ini sulit ia temukan di dunia luar. Lagi pula, kehidupan ini sangat luas, Aleea takut ia akan terjebak dan tidak bisa kembali di kehidupannya sekarang setelah mengenal kebebasan.
“Kamu masih didesak menikah?” tanya Kyai Hamzah. Aleea tersenyum kikuk. Alasan lain yang membuatnya betah di sini adalah omongan panas tetangga yang sibuk mengurusi hidupnya karena hilal jodoh belum juga terlihat di usia yang seharusnya sudah menikah.
“Keluarga tidak, tetangga iya. Tiap kali saya pulang, tidak pernah sehari saja saya tidak mendengar riuh itu.” Aleea berkata jujur. Ia sudah menganggap Kyai Hamzah seperti ayahnya sendiri. Bagaimanapun juga, di pesantren ini biaya tinggalnya ditampung oleh Kyai Hamzah dan keluarganya sebagai bayaran dari pengabdiannya selama membantu keluarga kyai.
“Kamu mau saya jadikan mantu?” Kyai Hamzah menawar tiba-tiba. Aleea bug. Gadis itu kehilangan kata-kata.
“Sebentar Lea. Kyai Hamzah memiliki tiga orang anak, anak pertama dan keduanya perempuan, sedangkan yang bontot laki-laki. Tidak mungkin kamu dinikahkan dengan kedua anak perempuannya, itu artinya ... Gus Abidzar? Apa iya?”
“Gimana?” Kyai Hamzah memperjelas pertanyaan sebelumnya.
Aleea terkekeh garing. “Bercanda nih Kyai.”
“Saya serius. Kalau kamu mau, saya bisa kenalkan. Dua hari lagi dia akan pulang ke sini. Kamu cocok kok jadi mantu saya,” kata Kyai Hamzah yang menjadi penutup interaksi kecil itu. Beliau kemudian pamit pergi lebih dulu karena harus mendatangi rapat kecil dengan beberapa guru pesantren.
—————
Ramai lalu lalang anak-anak santriwan memasuki kawasan luas ndalem dari gerbang pembatas rumah kyai ke pesantren utama membuat Aleea yang menyaksikan dari jendela rumah Kyai Hamzah mengerutkan dahinya. Ada apa?
Sambil menggendong anak dari Ning Syakia—anak pertama Kyai Hamzah—Aleea berjalan keluar untuk memastikan ada apa sebenarnya. Ia juga sesekali menunjuk para santri yang baru saja melintas untuk menenangkan Baby Aidan yang sedari tadi menangis.
Anak laki-laki itu berhenti menangis, tapi matanya memusat penuh perhatian saat sebuah mobil rush putih masuk ke kawasan rumah Kyai Hamzah dan memarkirkan mobilnya di parkiran kosong milik keluarga kyai. Aleea semakin bingung sekarang.
“Kyai Hamzah kedatangan kerabatnya?” monolog Aleea sambil fokus mengamati seorang pemuda yang turun dari mobil tersebut.
“Oon Bi ....”
Suara tidak jelas dari Baby Aidan yang menyebut ‘om’ semakin membuat Aleea bingung. Om siapa?
Tidak bisa dibohongi netra bayi itu berbinar. Ia bertepuk tangan dengan antusias seakan-akan bertemu orang yang sudah lama tidak dijumpai. Rasa rindu terlihat dari dalam dirinya. Aidan memberontak turun dari gendongan Aleea, lalu berlari menghampiri laki-laki itu yang saat ini sedang merentangkan kedua tangannya bersiap untuk memeluk hangat bayi mungil yang mendekatinya.
“Apa kabar, Aidan?”
Suara maskulin itu seketika membuat tubuh Aleea membeku di tempat. Hatinya bergetar mendengar suara berat khas laki-laki itu. Suaranya menggema di telinga Aleea. Gadis itu tidak tahu mengapa dirinya bisa seaneh ini sekarang.
“Mabruuk alfa mabruuk ... ‘alaika mabruuk. Mabruuk alfa mabruuk yawm-miiladik mabruuk.”
Sungutan suara beramai-ramai dari arah kiri membuat fokus Aleea dan laki-laki tidak dikenalinya memusat pada sumber suara. Para santriwan yang Aleea lihat bergerombol tadi kini bersama-sama menyanyikan lagu selamat ulang tahun sambil membawa kue tart tanpa lilin, mereka berjalan mendekati laki-laki itu sambil tersenyum.
“Selamat datang kembali dan selamat milad Gus Abidzar,” kata salah satu dari mereka yang seketika membuat Aleea semakin membeku. Ia tidak bisa berpikir apa-apa sekarang. Terlebih jantungnya kini berdegup lebih cepat dari biasanya.
“Lho? Itu ... Gus Abi?”
Aleea lagi-lagi bug.
•••••
To be continued.
Don’t forget to touch star in bellow if you want to read the next chapter!
All rights reserved. Tag my wattpad account if you want to share anything about this stories.
Indonesia, 4 April 2022 | Jangan lupa prioritaskan Al-Qur’an.
KAMU SEDANG MEMBACA
Polimagination [END]
Spiritual[Romance 14+ - Spiritual - Spesial Ramadan 2022] Bukan kisah klasik antara seorang gus yang menikah dengan santri abdi ndalem. Biarkan osean yang bercerita karena orang-orang tidak pernah mengetahui isinya, tidak dapat menebak besar kecil ombaknya...