Jangan merusak kebahagiaan orang lain demi mewujudkan kebahagiaan diri sendiri.
•••••
Refleks Hilwa menggebrak mejanya sambil berdiri. Ia kesal dengan Aleea yang terkesan mempermainkan perasaannya. Gadis itu super excited, tapi dijatuhkan begitu saja oleh sahabatnya sendiri. Kesan pertama yang menyebalkan.
“Aku serius. Nikah sama suamiku dan kasih dia keturunan, Wa.” Aleea menunduk, ia tidak kuat jika harus bercerita tentang hidupnya yang mulai terombang-ambing ini. “Aku udah delapan taun menikah, tapi belum juga ngasih Mas Abidzar anak. Aku mau keluarganya punya calon waris. Sadar diri sih, aku nggak bisa.”
Mendengar ini Hilwa mendudukkan tubuhnya lagi. “Maaf, Le. Aku kira kamu bercanda.”
Aleea mengangguk sambil terkekeh. Perempuan itu menatap sahabatnya lekat. “Kamu mau ‘kan bantuin aku?” tanya Aleea. Tatapannya penuh harap.
“Kenapa harus aku?”
“Kamu perempuan baik, Wa. Agama kamu juga bagus, nasab kamu juga baik, seandainya kamu menikah dengan Mas Abi, kalian sempurna. Saling melengkapi. Terlebih kamu bisa ngasih dia dan keluarganya keturunan. Iya, ‘kan?”
Aleea sudah tidak waras.
—————
Hilwa Althafunnisa. Lulusan terbaik dari salah satu universitas swasta terbaik di Indonesia dalam prodi sastra Inggris. Teman satu kelas Aleea. Parasnya cantik. Dia kharismatik. Wajahnya khas. Sulit dideskripsikan.
Gadis yang seharusnya sudah menjadi wanita ini lahir dari rahim seorang ustazah ternama di negaranya. Jangan ditanya, perkara agama juga sudah jelas baik, bahkan menurut Aleea cocok jika disandingkan dengan suaminya, Abidzar.
Dari lubuk hati paling dalam Hilwa tidak menyangka jika sahabatnya akan mengajukan pernyataan di luar akal sehat. Gadis itu merenungi semuanya. Rasa ingin menikah sudah pasti ada, bahkan sangat-sangat ada. Namun, bukan dengan suami orang juga. Apalagi suami sahabatnya.
Sebelum Aleea menawarkan Abidzar untuk dirinya, gadis itu sempat antusias. Ia berharap kenalan yang Aleea maksud adalah calon suami yang akan Allah kirim, setidaknya Hilwa merasa bahwa Tuhan benar-benar mengabulkan doanya. Pesimisnya saat itu hilang. Ia percaya akan menikah sebelum umurnya terkikis, tapi begitu kenyataan siapa kenalan yang Aleea maksud, Hilwa seakan terhempas dari ketinggian. Sakit, sekaligus iba melihat sahabatnya ditimpa kemalangan.
Netra Hilwa menatap lekat bayangan tubuhnya di cermin. Ia mengangkat sisi gamisnya, lalu memutarkan tubuh sejenak. Selain kejatuhan ekspektasi siang tadi, gadis itu juga mengalami kegundahan. Masalahnya, sebelum benar-benar pergi kalimat terakhir yang Aleea ucapkan membuat Hilwa merenungi semuanya.
“Menikah sama suamiku, Wa. Aku yakin mimpi-mimpi kamu akan terwujud bersamanya. Dia imam yang baik.”
Mimpi-mimpi akan terwujud apabila bersama suaminya, Hilwa refleks teringat dengan dirinya yang tak lagi memiliki sesuatu yang sempurna. Mimpinya ingin menikah sebelum hari itu tiba, kalimat Aleea seakan menyudutkan dirinya untuk menerima tawaran itu. Namun, bagaimana dengan Abidzar? Apa laki-laki itu mau menikahinya?
Jika dilihat dengan semua yang Aleea ceritakan, Abidzar adalah suami-able. Selain yang katanya tampan rupa, akhlaknya juga tak kalah. Terlebih anak seorang kyai. Selain religius, Aleea bilang Abidzar pintar soal edukasi pendidikan Indonesia, bahkan laki-laki itu membuka kursus bahasa yang kini sudah ada 5 bahasa yang ditampung. Keren.
KAMU SEDANG MEMBACA
Polimagination [END]
Spiritual[Romance 14+ - Spiritual - Spesial Ramadan 2022] Bukan kisah klasik antara seorang gus yang menikah dengan santri abdi ndalem. Biarkan osean yang bercerita karena orang-orang tidak pernah mengetahui isinya, tidak dapat menebak besar kecil ombaknya...