Chapter 04

967 90 4
                                    

“Saya mau mengenal kamu dengan cara yang Allah mau.”

•••••

Aleea mengakhiri aktivitas mengajarnya di jam terakhir. Gadis itu buru-buru keluar kelas karena masih ada pekerjaan di ndalem. Selain itu, sore nanti ia juga harus pulang untuk menjenguk ayahnya yang kemarin malam baru terjatuh dari kamar mandi dan mengalami patah tulang di bagian kakinya.

Setelah meletakkan tas kerjanya, Aleea buru-buru memanaskan setrika dan mulai menggosok beberapa pakaian penting milik keluarga ndalem di sini, termasuk ... milik Gus Abidzar.

Gadis itu memandangi lekat thobe hitam yang menggantung di lemari terbuka. Miliknya Abidzar. Laki-laki itu selalu saja tidak bisa lepas dari pikiran Aleea, bahkan tanpa gadis itu sadari Aleea sering tersenyum tanpa sebab sekarang.

Lamunannya buyar saat suara itu menggemparkan telinganya.

“Mbak.” Ia memanggil lembut sambil membuka kelambu yang menjadi penutup ruang setrika. “Lagi gosok kemeja batik buat dinas biasanya, nggak?”

“Ba–baju batik dinas? Yang mana, Gus?” tanya Aleea gugup. Masalahnya gus muda itu masuk tanpa salam dan main asal memanggil dirinya. Aleea belum mempersiapkan jantungnya untuk baik-baik saja.

“Batik coklat. Di lemari nggak ada soalnya.”

Dengan perasaan yang mencampur jadi satu, Aleea mulai menggali keranjang pakaian hingga menemukan batik dinas coklat yang Abidzar maksud.

“Iya itu. Tolong setrika, ya.” Aleea mengangguk lalu bergerak melakukannya. Gadis itu sedikit malu karena sedari tadi Abidzar memperhatikan dirinya. Apa laki-laki itu tidak memiliki objek lain? Setidaknya tidak membuat jantung Aleea semakin berdebar-debar.

“Makasih, ya,” katanya saat Aleea menyerahkan kemeja tersebut kepadanya. Abidzar kemudian pergi meninggalkan Aleea yang masih tidak menyangka dengan skenario Allah hari ini.

—————

“Kyai, tolong jangan kick saya buat ngabdi, ya. Saya hanya pulang satu minggu, setelahnya pasti balik lagi,” kata Aleea yang mengundang kekehan dari Kyai Hamzah.

Beliau mengangguk. “Salam untuk orang tua dan abang kamu, ya. Maaf Kyai nggak bisa antar sampai depan,” katanya yang Aleea angguki. Gadis itu kemudian menangkupkan kedua tangannya di hadapan Kyai Hamzah serta mencium serban yang menenteng di pundak pria itu. Kenikmatan yang tidak semua orang bisa rasakan.

Aleea berjalan keluar rumah ndalem setelah pamit dengan Kyai Hamzah dan istrinya. “Udah sampe mana, Bang?” tanya Aleea kepada seseorang di balik ponselnya.

Ini mau masuk pesantren. Baru izin sama pihak pesantren buat lakuin kunjungan ke murid kesayangan Kyai Hamzah. Agak ribet, ya ternyata.

Aleea terkekeh mendengar itu. “Oke, Lea tunggu. Ti ati, Bang. Jangan sampe nginjek semut, ya!” Aleea memutus sambungan teleponnya setelah mengucap salam. Ia kini sudah berdiri di pendopo untuk menunggu jemputan Ashwar, kakak laki-lakinya.

Saat mobil Ashwar terparkir di parkiran khusus kunjungan, laki-laki itu buru-buru menyusul adiknya yang membawa ransel besar. Kebiasaan santriwati yang mungkin harus dijadikan maklum. Pulang seminggu serasa setahun. Pergerakan Ashwar terhenti saat Aleea dihampiri seorang laki-laki. Ia memutuskan untuk menyimak dari jauh.

“Mau pulang, ya?” tanya Abidzar setelah jaraknya dengan Aleea tidak terlalu jauh juga tidak terlalu dekat. Abidzar mengulurkan map coklat, “Saya mau mengenal kamu dengan cara yang Allah mau. Ini CV ta’aruf saya.”

Polimagination [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang