Bukan manusia yang tidak ingin, tapi memang Tuhan yang belum kasih.
•••••
Dalam sekejap dunia Abidzar diruntuhkan oleh permintaan istrinya sendiri. Dia terpaksa menerima. Laki-laki itu hanya mau istrinya bahagia, meskipun caranya salah.
Kemarin laki-laki itu membicarakan dengan orang tuanya, bahkan Kyai Hamzah dan istrinya menolak keputusan konyol itu. Keduanya sudah menerima Aleea menjadi menantunya, itu artinya semua kekurangan dari perempuan itu harus diterima dengan baik oleh keluarga Winata. Mereka tidak berhak menuntut karena semuanya pemberian dari Tuhan.
Abidzar dan Aleea subuh tadi didudukkan untuk berdiskusi bersama Kyai Hamzah dan Bu Nyai Maryam. Keinginan Aleea yang sudah bulat, Abidzar yang meminta negoisasi tidak diterima, dan orang tua mereka hanya bisa pasrah dengan syarat mereka harus bisa saling ikhlas.
“Setelah ini kita ke rumah orang tua kamu, kita bicarakan ini juga sama mereka. Saya nggak mau berita ini jadi salah kaprah,” ucap Abidzar tanpa melihat Aleea yang kini ada di sampingnya. Netra laki-laki itu mengamati orang yang berlalu lalang. “Kapan dia datang?” lanjutnya bertanya saat sudah merasa lama orang yang mereka tunggu-tunggu tidak kunjung datang.
“Sebentar lagi mungkin, Mas. Sabar, ya.”
“Iya, sabar. Kayak ngeiyain sikap kamu yang keras kepala.” Abidzar kelepasan. “Maaf nggak niat, tapi emang ini langsung keluar dari hati terdalam. Biar kamu tau seberapa tertekannya saya dengan semua keputusan konyol ini. Saya harap kamu bisa berubah pikiran.”
Aleea menunduk. Hatinya cukup perih saat Abidzar mengatakannya. Ini semua memang salahnya. Dia yang terlalu memaksa. Tidak memikirkan hal ke depannya akan berjalan bagaimana. Egois.
“Aku harap kekesalan kamu hari ini bakalan membuahkan hasil baik dari sebuah keterpaksaan,” kata Aleea tak mau kalah. Ia masih bertekad kuat untuk meyakinkan Abidzar meskipun hatinya sendiri sedang memerah karena tidak kuat dengan sikap suaminya yang terlalu blak-blakan. Sudah tahu ia lemah jika Abidzar memelas.
“Nggak ada yang baik dari memaksakan kehendak, Al.” Abidzar mengusap wajahnya kasar, “Udahlah, mau saya ngomong panjang lebar pun kamu nggak akan pernah bisa ngertiin posisi saya, jauh-jauh ngertiin posisi saya, ngertiin perasaan Abah dan Ibu saja kamu nggak bisa.” Skakmat.
“Sebegitu egoisnya aku, ya, Mas?”
Aleea menghela napas gusar. “Jadi, pertanyaannya kamu mau nikah sama dia atau enggak, Mas? Kita dateng ke sini buat itu. Bukan berdebat kayak gini.”
Abidzar refleks menatap ke arah Aleea. “Kalaupun saya jawab tidak, yang kamu mau adalah jawaban ‘iya’ dari saya, ‘kan?” tepat. Abidzar memalingkan wajah.
Perhatian mereka teralih pada seorang perempuan yang tengah berjalan pontang-panting. Aleea yang melihat itu, lantas berdiri dan menghampirinya.
“Hilwa, kenapa lama sekali?” cicitnya. Perempuan itu langsung menyuruh Hilwa duduk di hadapannya yang juga berhadapan dengan Abidzar. Melihat interaksi ini, Abidzar jadi tahu siapa perempuan yang ikut bergabung ke mejanya.
“Maaf lama. Tadi jalan macet banget. Kalian udah nunggu lama, ya?” tanya Hilwa. Gadis itu masih belum menyadari akan adanya Abidzar di sini. Mungkin tahu ada orang lain, tapi ia lupa dengan Abidzar. Begitu pandangannya menemukan Abidzar yang menunduk dan terlihat begitu diam. Ia baru tersadar dengan niatnya untuk apa datang ke mari.
Melihat sikap Abidzar yang tidak peduli dengan kehadirannya, Hilwa merasa bahwa pernikahan mereka hanya akan sebatas hitam di atas putih. Auranya sudah tidak enak jika dirasakan. Mencekam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Polimagination [END]
Spiritual[Romance 14+ - Spiritual - Spesial Ramadan 2022] Bukan kisah klasik antara seorang gus yang menikah dengan santri abdi ndalem. Biarkan osean yang bercerita karena orang-orang tidak pernah mengetahui isinya, tidak dapat menebak besar kecil ombaknya...