Epilogue

1.9K 59 33
                                    

[S’notes] Versi epilog ini akan sangat panjang melebihi chapter-chapter sebelumnya. Jangan skip baca karena ending di sini penting banget.

Kalau nggak kuat baca, silakan tinggalkan dulu, nanti lanjut lagi. Intinya, jangan diskip. Rugi kalau diskip.

.

.

Hari ini ada pelik, tapi masih ada yang berdoa meminta terbaik untuk sebuah takdir.

•••••

Sedari tadi Aleea tidak bisa diam. Abidzar berkali-kali menyeru perempuan itu duduk, tapi ia keras kepala meski tidak bisa dibohongi bahwa ia merasa begitu nyeri pada jahitan setelah melahirkan normal seminggu lalu.

Bagaimana bisa duduk dengan tenang di saat dokter mulai memeriksa anaknya, tapi ia tidak diperbolehkan masuk padahal ibunya. Aleea kesal. Baru seminggu ia melahirkan, tapi sesuatu yang di luar dugaan terjadi. Dirinya tak ingin menyalahkan Allah. Mungkin ini bagian dari takdir baik keluarganya. Allah tahu keluarganya kuat.

Dalam hati Aleea terus merapalkan doa berharap putranya di dalam sana baik-baik saja. Ia berharap akan ada keajaiban dari Tuhan.

Abidzar yang berdiri di samping istrinya merasa hancur. Sebagai seorang ayah, ia juga sama hancurnya. Anaknya berbaring dengan keadaan yang aneh di dalam sana. Dirinya tidak tahu apa yang terjadi, tapi di hatinya selalu berdoa yang terbaik untuk sebuah takdir.

Laki-laki itu memutuskan untuk mengusap air mata Aleea yang tak kunjung mereda. Mereka berdua sama-sama hancur, tapi sebagai seorang suami yang pundaknya lebih kuat dari seorang istri, ia menutupi kehancurannya demi Aleea bisa kembali bangkit.

“Althaf bakal baik-baik aja. Percaya itu,” katanya selepas mengelap air mata Aleea. Perempuan itu malah menggeleng. Raut wajahnya penuh ketakutan. Abidzar langsung menarik Aleea ke dalam dekapannya.

Abidzar berbisik, “Kamu Bunda yang hebat. Anak kita pasti hebat. Dia kuat di dalam sana.” Mendengar perkataan Abidzar membuat bulu-bulu di kulit Aleea meremang. Bukannya semakin tenang, perempuan itu malah menangis semakin deras. Abidzar mengeratkan pelukan mereka. Sesekali mengelus punggung istrinya menenangkan.

Pelukan terlepas saat dokter yang tadi masuk memeriksa Althaf keluar, tapi tidak membawa putranya. “Ibu baby Althaf?”

“Saya,” acung Aleea.

“Sejak kapan bayinya tidak mau diberi ASI,” tanya Dokter Levi.

“Perjalanan ke rumah sakit ini. Seminggu ini anak saya tidak pernah absen untuk tidak ingin meminum ASI. Ini pertama kalinya. Sangat aneh karena ia terus saja rewel. Apalagi kulitnya yang menguning. Saya takut. Ada apa dengan Althaf?”

“Setelah saya periksa tadi, saya menduga Althaf terkena sepsis neonatorum atau bisa juga disebut dengan infeksi darah pada bayi baru lahir.” Masih setengah, tapi nyawa Aleea separuhnya seakan tengah menghilang. Jantung perempuan itu terlihat melemah. Mereka yang mendengar juga melemas, termasuk Abidzar.

Dugaan Bu Nyai Maryam benar.

Detik itu juga Aleea sejenak bagai dibuat melayang, lalu terhempas dengan sangat dalam pada jurang yang curam. Hatinya bergetar. Dalam hati ia meneriaki nama anaknya. Berharap bayinya akan baik-baik saja di dalam sana.

“Apa bisa disembuhkan, Dok?” tanya Abidzar.

“Sepsis neonatorum bisa merusak berbagai organ ditubuh bayi. WHO juga memperkirakan ada sekitar tiga juta pada setiap tahunnya bayi di seluruh dunia meninggal karena infeksi ini.” Semuanya lemas. Aleea meringis perih. Sakitnya double. Mendengar Althaf yang tiba-tiba saja terkena sepsis neonatorum terdengar tidak masuk akal. Apalagi bekas jahitannya yang kini seperti berkedut sakit.

Polimagination [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang