Chapter 03

1K 103 6
                                    

Teruslah berdoa. Karena melalui doa kamu seperti sedang melatih diri untuk terus dekat dengan siapa yang menciptakan seluruh alam semesta ini.

•••••

Arus udara menghantam pipi Abidzar tenang. Pandangan laki-laki itu fokus ke depan melihat seorang perempuan menggendong keponakannya sambil memperlihatkan ikan-ikan kolam yang berada di dekat pendopo pondok. Sesekali ia tersenyum tipis saat gelak tawa terdengar manis dari bibir perempuan yang ia pandangi.

“Gimana, cocok nggak?”

Suara dari arah kiri membuat Abidzar memejamkan mata terkejut. Kyai Hamzah mengambil duduk di sebelahnya sambil terkekeh menatap putranya yang sudah tumbuh dewasa.

“Apanya yang cocok?” tanya Abidzar. Laki-laki itu tahu arah pembicaranya akan ke mana, tapi ia berjaga-jaga takut salah mengartikan.

“Itu.” Kepala Kyai Hamzah mendongak pada titik di mana Aleea berada bersama Aidan.

“Dia gadis yang Abah ceritakan setiap kali telfonan sama kamu. Anaknya baik banget. Dia udah umur kisaran dua puluh dua tahun, tapi nggak mau ninggalin pesantren ini. Katanya mau fokus ngabdi.”

Dalam hati Abidzar mengagumi Aleea. Dulu, ia hanya mengetahui Aleea melalui cerita Abahnya, bahkan ketika pulang ke sini, ia tidak pernah menjumpai gadis itu karena terhalang jam kuliahnya. Kini, laki-laki itu telah benar-benar kembali dan bisa melihat secara langsung, tidak hanya wajah, tapi kepribadiannya juga.

“Jam sebelas siang nanti Aleea bakal mulai ngajar jadi guru bahasa Inggris di sini. Dia udah jadi sarjana seminggu yang lalu. Sayang ilmunya kalau nggak disebarkan.”

Kyai Hamzah begitu antusias menceritakan Aleea kepada Abidzar. Pria itu ingin sekali menjadikan Aleea menantunya, tapi semua keputusan ia arahkan kepada Abidzar yang dengan harap laki-laki itu mau meminang Aleea dan mewujudkan mimpinya.

“Abah mau lihat kamu nikah sebelum meninggal, Zar,” katanya yang membuat Abidzar langsung memusatkan pandangan kepada ayahnya yang sudah mulai tua.

“Ngomong apa sih, Bah,” kata Abidzar tidak suka. Laki-laki itu kemudian melihat arloji di pergelangan tangannya. “Udah setengah sebelas. Aleea nggak mau siap-siap buat ngajar?” tanya Abidzar pada Kyai Hamzah.

“Oh ya. Tolong kamu ambil Aidan dari gendongannya, suruh Aleea siap-siap setelah itu. Abah titip pesan sama kamu. Sampaikan, ya.” Kyai Hamzah berdiri dari duduknya, kemudian pergi meninggalkan Abidzar yang masih bingung harus berbuat apa.

Ragu-ragu laki-laki itu melangkah mendekat ke pendopo tempat Aleea dan Aidan berada. Ia berdehem kecil sebagai pergerakan pertama yang ia lakukan untuk menyadarkan Aleea bahwa ia ada di sini, di dekatnya.

Gadis itu tidak bisa menyembunyikan wajah kagetnya. Ia melangkah mundur untuk memberikan jaraknya dengan Abidzar karena tidak ingin laki-laki itu mendengar keributan yang ada di jantungnya.

Oon Bi ....”

Aidan, bayi itu merentangkan tangannya ke arah Abidzar seolah ingin digendong adik laki-laki dari ibunya. Abidzar tersenyum sambil berjalan mendekat ke arah Aleea sambil mengambil alih Aidan dari gendongan Aleea ke gendongannya.

Pergerakan yang baru saja dilakukan Abidzar membuatnya membeku tidak tahu bagaimana caranya merespons. Aleea hanya bisa celingukan. Abidzar sedikit menyunggingkan senyum saat menyadari tingkah aneh dari gadis di sebelahnya. Laki-laki itu sampai lupa hendak mengingatkan pesan dari abahnya tadi.

“Siap-siap aja, Mbak. Kata Abah setengah jam lagi harus ngajar, ‘kan?” katanya yang membuat Aleea membulatkan mata tidak menyangka dengan apa yang baru saja ia dengar dari mulut laki-laki itu.

Aleea melihat jam dinding yang terpasang di pendopo. Kurang 30 menit lagi. Ia melirik ke arah Abidzar yang sedang menunjukkan Aidan ikan mas yang sedang berenang dalam kolam. Mau meninggalkan laki-laki itu bersama keponakannya, tapi tidak enak. Secara ia yang seharusnya menjaga Aidan sampai ibunya balik dari toko.

“Pekara Aidan biar saya yang urus. Mbak siap-siap aja,” kata Abidzar tanpa menoleh ke arah Aleea.

Abidzar sepeka itu?

—————

Setelah maghrib tadi, kini Aleea mengikuti aktivitas rutin pesantren bersama para santri. Di saat-saat seperti ini mereka sibuk mempelajari ilmu nahwu dengan kitab kuning. Ilmu nahwu adalah ilmu yang mempelajari struktur kalimat bahasa Arab. Kitab yang digunakan berasal dari Saudi.

Mereka semua menyimak sampai sesi tanya jawab dibuka sebagai penutup kegiatan tersebut. Para santri mulai berdiri untuk kembali ke kamar masing-masing setelah kegiatan selesai, mereka mengambil mukena dan bersiap menunaikan salat Isya setelahnya. Besok subuh-subuh mereka baru akan mempelajari ilmu shorof.

Biasanya sehabis salat Isya, para santriwan dan santriwati akan melakukan tilawatil qur’an di masjidnya masing-masing. Namun, untuk kali ini Aleea absen tidak hadir karena harus membantu Bu Nyai memasak untuk tamu yang akan berkunjung ke rumahnya.

“Masih betah di sini, Mbak?” tanya Bu Nyai  Maryam kepada Aleea sambil tangannya yang fokus menumis sambal bawang.

“Bakalan pulang kalau jodohnya sudah datang, Bu Nyai,” celetuknya tiba-tiba. Gadis itu tidak sadar dengan apa yang baru saja dikatakan.

“Sudah ditawari sama Pak Kyai, ‘kan?” tanya Bu Nyai. Aleea mengerutkan dahi.

Ditawari apa?

“Maaf, ditawari apa ya, Bu Nyai?” Aleea balik bertanya.

“Nikah sama anak saya.” Freeze. Aleea mendadak kehilangan kata. Bibirnya seperti di lem, tenggorokannya begitu tercekat, bahkan tubuhnya sulit untuk dipindahkan.

“Sudah ditawari, ‘kan?” Bu Nyai memperjelas pertanyaannya. Aleea mengangguk berat. Gadis itu buru-buru menormalkan detak jantungnya.

“Su–sudah.”

“Gimana?”

“Gi–gimana apanya, Bu Nyai?” Aleea tertawa garing. Ia sama sekali tidak bisa berpikir saat ini.

Apa Kyai Hamzah serius dengan tawarannya saat itu?” tanya Aleea pada hatinya sendiri.

“Gimana? Kamu mau menikah sama anak saya? Dia lagi nungguin jawaban kamu, loh.”

“H–hah?”

“Istikharah Aleea. Kalau kamu bersedia, Abidzar akan melamar kamu di hadapan orang tua kamu nanti.” Bu Nyai menjeda kalimatnya saat memasukkan daging yang sudah dikukus ke dalam sambal yang sedang ditumis.

“Kalau Allah mengizinkan kalian bersama, kamu nanti nggak usah susah-susah pindah. Di sini aja terus, tapi bukan ngabdi lagi, tapi jadi mantunya Kyai, keren ‘kan?” imbuh Bu Nyai yang sontak membuat Aleea membungkam mulutnya agar tak sampai berteriak kesenangangan. Rasanya gadis itu ingin melompat sekarang juga.

L–lhoh?

Aleea melepas bungkaman itu dan beralih menggaruk tengkuknya salah tingkah. Apa yang barusan ia lakukan? Aneh!

Bu Nyai yang menyadarinya seketika terkekeh. Wanita itu jadi semakin yakin kalau sebenarnya Aleea memiliki rasa yang sama seperti apa yang saat ini tengah dirasakan oleh anaknya.

“Seandainya kalian nikah, kamu nggak akan cape-cape banget ngurusin rumah karena Abidzar pasti akan bantuin kamu. Dia bisa masak, bisa cuci piring, bisa cuci baju, dan pastinya bisa banget mengayomi kamu,” kata Bu Nyai. Beliau seperti sedang menawarkan jajanan pasar yang ditolak oleh calon peminatnya. Aleea jadi bimbang.

Abidzar ... berjuang lagi, ya, Nak. Perempuan yang lagi kamu perjuangin di sepertiga malam mungkin sejengkal lagi doa itu akan tembus dan Allah kabul.

•••••

To be continued.


All rights reserved. Tag my wattpaf account if you want to share anything about this stories.

Indonesia, 7 April 2022 | Jangan lupa prioritaskan Al-Qur’an!

Polimagination [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang