Chapter 06

910 79 11
                                    

[S’notes] Mohon dikoreksi apabila ada kesalahan dalam pengetikan. Sesungguhnya saya masih tergolong orang yang awam.

.

Ikhlaskan jika harus ada yang pergi. Karena dunia bukan tempat tinggal, melainkan tempat meninggal.

•••••

Zar, kamu di mana. Kok belum dateng, sih!

Suara dari seberang telepon sana begitu melengking di telinga Abidzar. Namun, laki-laki itu seperti tidak peduli karena ia harus benar-benar berkonsentrasi. Ia tidak tahu mengapa kemalangan ini harus terjadi di hari pentingnya.

Abidzar! Kamu denger suara Abah, ‘kan?

Kyai Hamzah mulai berbicara dengan nada tinggi melihat perkataannya tak kunjung direspon oleh sang putra. Abidzar masih diam. Laki-laki itu terus bersenandung dzikir dalam hati meminta keselamatan.

Mobil yang ia tumpangi menuju kediaman mempelai wanita untuk ijab qobul bermasalah. Remnya tidak bisa dikendalikan. Ini salahnya karena harus berangkat dari rumah sendiri mengingat wardrobe pengantin laki-laki datang di jam-jam terakhir dimulainya acara.

Abidzar bug. Ia hanya berusaha untuk mengendalikan mobilnya di tengah kesulitan. Terlebih di sana ada lampu merah yang mengharuskan ia berhenti.

Astaghfirullah. Subhanallah. Bagaimana ini, ya Allah.

Laki-laki itu terus beristighfar dalam hati hingga mencapai puncak kejadiannya. Awalnya Abidzar merasa lega karena berhasil melewati lampu merah tanpa kendala, tapi penjual bakso yang sedang menyebrang dengan gerobaknya membuat titik pusat perhatian Abidzar oleng dan terpaksa membanting setir ke arah kiri yang posisinya adalah jurang.

Mobil rush itu menggelinding hingga menabrak pohon dan mengeluarkan asap seakan siap hendak meletup keras. Kepala Abidzar terbentur setir dengan sangat keras hingga banyak mengeluarkan darah segar.

Abidzar berusaha menguatkan dirinya sendiri hingga ada banyak orang yang mengelilingi mobilnya berusaha menyelamatkan. Ia berhasil keluar dari mobil dengan keadaan lutut yang lemas dan tangan yang bergemetar. Jangan lupakan keningnya yang saat ini merah karena cairan segar kental dari dalam tubuhnya.

“Mas nggak papa?” tanya salah satu dari mereka. Abidzar belum memberikan respon. Ia memegangi kepalanya kesakitan. Wajahnya basah oleh darah, bahkan jas putih yang ia kenakan untuk akad kini masih banyak bercak darah.

“Woi telfon ambulan!” seru yang lain.

Abidzar menggeleng. Ia tidak boleh ke rumah sakit dan membiarkan Aleea di sana dalam kekhawatiran.

“Jangan. S–saya harus melangsungkan pernikahan hari ini juga,” katanya lemah. Semua orang saling memandang. Mereka tidak tahu harus apa sekarang. “To–tolong bawa saya ke tempat c–calon saya.”

“Gimana kalau ini amanat terakhirnya? Anterin aja!” kata Pak Danang, pria hampir kepala empat yang ikut berkontribusi menolong Abidzar.

Mereka semua akhirnya setuju. Salah satu di antara mereka yang bersedia mengantar Abidzar seketika menyiapkan mobil, sedangkan yang lain berbondong-bondong mengeluarkan Abidzar dari jurang sedalam 5 meter menuju jalan raya.

Polimagination [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang