Perjalanan Abidzar dan kejanggalan-kejanggalan yang kalian rasakan akan ditemukan di sini. Namun, setelahnya kita akan benar-benar berpisah, mungkin. - S’notes.
.
.
I will still love you, even though you’re gone.
•••••
Kematiannya begitu tiba-tiba. Allah memang sangat luar biasa ketika menunjukkan kuasa-Nya. Akal manusia pun rasanya tak bisa menghitung semua takdir hebat yang Ia beri.
8 tahun bukan waktu yang singkat untuk Aleea dan Abidzar saling mengenal. Merasa bersalahnya, selama itu pun Abidzar tidak tahu bahwa istrinya memiliki riwayat penyakit yang ternyata menyebabkan kematian. Laki-laki itu dan keluarganya baru tahu hari ini, dan rupa-rupanya ini adalah pemeriksaannya yang pertama kali. Ya, pemeriksaan diiringi kematian.
Dengan tatapan nanar, Abidzar menatap selembar kertas itu dengan perasaan yang campur menjadi satu. Syok kardiogenik. Sependek yang ia dengar dari dokter yang memeriksa jasad istrinya tadi, Aleea diklaim memiliki gangguan jantung yang terbilang cukup parah dan terjadi secara mendadak.
Kondisi yang katanya tak mampu mencukupi pasokan darah yang dibutuhkan oleh tubuh dan harus ditangani segera. Abidzar merasa kesalahannya di sini. Mungkin sang istri tidak akan pergi secepat ini apabila dirinya cepat membawa ke rumah sakit untuk diperiksa. Bodoh, tapi Aleea memang sudah meninggal tidak lama dari penyakit itu ada. Nyawa Aleea melayang bersamaan dengan kalimat terakhirnya terucap.
Althaf lebih membutuhkan ibunya. Begitu kalimat yang terus Abidzar ucapkan untuk menguatkan dirinya di hadapan gundukan tanah yang masih basah dengan nisan yang bertuliskan nama Aleea Sena Gautama dalam tulisan Arab. Miris.
Tidak ada lagi bulir bening yang membasahi wajah laki-laki itu. Semua mengering bersama dengan angin yang menepuk hangat dirinya. Mungkin juga air mata itu sudah tidak tersisa. Ditinggalkan dua orang dalam satu masa itu menyakitkan.
Para santri pun tidak absen untuk menatap iba cobaan yang kini tengah di hadapi gus muda mereka, tapi tidak jarang juga beberapa santriwati yang sibuk merancangkan masa depan mereka dengan Abidzar ketika laki-laki itu sudah resmi menyandang duda.
“Sebelah dalam diri saya sudah patah, Al. Sekarang saya bingung bagaimana cara menjalani kehidupan tanpa kamu.” Tangan kekar itu mengelus halus nisan putih Aleea. Abidzar juga menarik dua sudut bibirnya dengan sempurna meskipun tatapan dari matanya tidak bisa berbohong.
“Mimpi saya untuk memiliki masa depan yang indah bersama keluarga kecil kita ternyata hangus di sini.”
Netra Abidzar menatap kelopak bunga segar yang terletak di atas makam istrinya. “Akhirnya kalimat yang pernah saya ucapkan ke kamu pada malam itu memang benar-benar berakhir luka. Saya terlalu menjadikan rumah, hingga saat kamu pergi dan kita yang tidak bisa seperti dulu lagi membuat saya hancur.”
“Kehilangan dua orang sekaligus bukan perkara yang mudah, Al. Mungkin saat Hilwa pergi dulu, ada kamu yang menguatkan, lalu kehilangan Althaf ... saya juga malah kehilangan kamu.”
Seseorang kemudian menepuk pundak Abidzar pelan. Laki-laki itu mendongak. Hatinya kembali teduh ketika melihat seulas senyum dari cinta pertamanya. Dia Maryam, ibunya.
“Ikhlas memang tindakan yang paling menyulitkan. Tidak semudah yang diucapkan, tapi setidaknya jangan berlarut-larut dalam kesedihan akan kehilangan.”
“Keimanan kamu diuji di sini, Zar,” sahut Kyai Hamzah sambil merengkuh kecil anak bungsunya. Pria itu berusaha menguatkan sang anak.
Abidzar hanya bisa mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Polimagination [END]
Spiritual[Romance 14+ - Spiritual - Spesial Ramadan 2022] Bukan kisah klasik antara seorang gus yang menikah dengan santri abdi ndalem. Biarkan osean yang bercerita karena orang-orang tidak pernah mengetahui isinya, tidak dapat menebak besar kecil ombaknya...