02. JAM KOSONG

104 105 53
                                    

Bintangnya di klik ya teman-teman 😃

-----------------------------

Sesudah dari ruang guru, Arka dan Asa kembali berjalan beriringan. 

"Ar? Lo mau ke kantin bareng gue?" tanya Asa berbaik hati. Ia tahu jika siswa baru itu pasti belum mengenal lingkungan sekolah barunya ini. Sebagai teman yang baik, Asa akan berusaha membantu laki-laki itu beradaptasi di sekolah ini. Seperti amanah Bu Mimin yang dikatakan padanya.

"Mau," jawab Arka.

Keduanya masih terus berjalan santai menyusuri koridor yang sepi. Sepi karena siswa-siswinya pada ke kantin semua.

"Kantinnya ada di lantai dasar. Jadi, kalo dari kelas kita, kita harus turun tangga dulu buat ke kantin. Karena ini tadi kita dari ruang guru, jadinya nggak usah turun tangga." Asa menjabarkan rute menuju kantin secara rinci dan jelas. 

Arka menoleh, menunduk untuk menatap gadis di sebelahnya itu, yang tingginya hanya sebatas dadanya.

"Oh iya, kita ngerjain tugas kelompoknya kapan nih? Nggak usah buru-buru juga sih, soalnya masih minggu depan dikumpulinnya. Jadi ... gimana menurut lo?" Tepat di akhir kalimatnya, Asa menoleh dan mendongak menatap Arka. Ia refleks menghentikan langkah saat tatapannya bertemu dengan tatapan laki-laki itu. Tatapan laki-laki tinggi itu sangat teduh sampai-sampai membuat detak jantung Asa berpacu lebih cepat dari biasanya.

Arka turut menghentikan langkahnya. "Kenapa?"

Asa memalingkan wajahnya, memutus kontak mata dengan laki-laki itu. "Ekhm-khm, nggak papa kok." Padahal jantungnya ini sedang tidak baik-baik saja. Ia melanjutkan langkahnya kembali.

Diikuti Arka.

Apakah sedari tadi Arka menatapnya yang sedang mengoceh? Jika memang iya, Asa malu. Bisa saja kan laki-laki itu melihat upil kecil yang tidak disadarinya, atau ... melihat percikan ludah kecil yang keluar dari mulutnya saat mengoceh tadi misalnya? Tidak-tidak, itu hanya asumsi negatif Asa. 

Sebagai pembuktian untuk dirinya sendiri, Asa menggosok hidungnya. Memastikan bahwa tidak ada upil kecil yang menempel. Dan ternyata memang benar, tidak ada upil di sana. Cukup. Asa tersadar ini konyol. Jadi, ia akan menghilangkan asumsi-asumsi anehnya itu jauh-jauh dari pikirannya.

•••••

Sesampainya di kantin, Asa menelusuri tiap meja-meja yang ada di sana. Dan, matanya tertuju pada salah satu meja yang tempati oleh tiga orang. Tanpa aba-aba, gadis itu menarik tangan Arka. 

Arka yang tidak mengerti hanya menurut saja.

"Anyooong," sapa Asa, saat sudah berada di meja yang ditujunya. Gadis itu duduk di sebelah Naya.

Sedangkan Arka duduk di hadapan gadis itu, tepatnya di sebelah dua orang laki-laki yang tidak ia kenali. 

"Anyong-anyong, dari mana aja lo? Kita bertiga belum pesen makan demi nungguin lo dateng dulu tau!" dumel Naya.

"Iya iya maaf. Yaudah, sekarang siapa yang mau pesenin makanannya? Gue aja kayaknya," tanggap Asa santai.

"Biar gue aja yang pesen. Pesen apa aja?" sarkas Wily. Laki-laki itu adalah teman sekelas Naya. Kelas XII IPA 1

"Samaan aja biar nggak ribet," saran Gian, si jago main piano. Laki-laki bermata sipit itu merupakan anak dari si pemilik SMA Sentosa. Anak pemilik sekolah bukan berarti bersikap seenaknya dan berkuasa. Gian tidak seperti itu.

"Gimana kalo bakso aja?" usul Naya.

"Gue setuju," timpal Gian, meletakkan selembar uang kertas lima ribu di tengah-tengah meja.

K3 : Kehadiran-Kenyataan-KepulanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang