~Adreil Ferupsea~

323 14 4
                                    

Fiorra terdiam, hatinya sesak ketika melihat tatapan benci itu. Ia menatap kepala sekolah memohon agar menerimanya di sini.

"Maaf, Pak. Jujur aku sebenarnya masuk ke sekolah ini bukan hanya sekedar masuk untuk niat dalam belajar pada umumnya, aku pacar Adreil ... dan aku ...  aku ingin mengembalikan apa yang sudah lama hilang." Fiorra bersuara. Dirinya menatap lelaki paruh baya yang saat ini tengah menatapnya tidak percaya akan fakta itu. "Mungkin, Bapak. Paham apa yang aku maksud."

"Kamu pacarnya Adreil?"

Fiorra mengangguk.

"Loh, saya kira yang pacarnya Adreil itu Felisya. Makanya tuan Erlan sampe mau bersusah payah masukin dia, padahal tahu apa resikonya," lanjut kepala sekolah itu dengan wajah yang masih bingung.

Sekarang ke-6 orang itu yang terkejut dengan penjelasan kepala sekolahnya.

"Om Erlan Ferupsea?" tanya Fiorra mamastikan.

Kepala sekolah itu mengangguk. "Siapa lagi yang buat semua orang  gak bisa bantah permintaannya bapak dan anak itu?"

Mereka membenarkan. Jawaban yang selama ini dicari Reyhan, Herry, Dave, Farid dan Rednal temukan. Mereka tidak pernah terpikir ini atas dasar perintah Erlan, padahal dia tahu akibatnya akan fatal. Apa yang ayahnya Adreil rencanakan?

Fiorra mengerutkan keningnya, ia kembali teringat pesannya belum terbalaskan oleh Erlan sejak kemarin.

Kepala sekolah itu menghela nafasnya. "Baik, sesuai keinginan anak pemilik sekolah ini. Kamu besok mulai sekolah dan soal perlengkapan seperti seragam, silahkan selesaikan hari ini."

Fiorra menoleh dan tersenyum. Ia menatapnya penuh terima kasih, setelah mengucap makasih sekali lagi. Mereka keluar dengan Fiorra yang mulai berniat menyelesaikan perlengkapan sekolahnya.

"Gue bantuin lo," sahut Dave.

Mereka menoleh termasuk Fiorra.

"Lo?" ujar Herry.

"Eh? Gak usah, aku bisa sendiri dan aku gak mau Adreil makin salah paham. Apalagi sama sesuatu yang belum jelas benar nggaknya, aku duluan ya." Fiorra berjalan meninggalkan mereka.

Rednal mendekat, ia menepuk pundak Dave dua kali. "Jangan pernah memulai apa yang belum usai," katanya lalu pergi.

Diikuti yang lainnya.

"Tenang aja, kita percaya kok sama lo." Reyhan tersenyum.

Dave terdiam, ia menatap kepergian Fiorra. Dulu dirinya yang melangkah menjauh bukan dia. Tapi saat ini keadaan berbanding terbalik, Dave bingung dengan dirinya sendiri.

*****

Adreil menatap pergelangan tangannya, masih jam istirahat. Dirinya menunjuk seorang lelaki yang berada di dalam kelas.

"Gue?" tanyanya.

"Iya, siapa lagi?!"

Laki-laki itu menggeleng tak urung ia mendekat, mengikuti perintah Adreil.

Gak usah ngegas juga kali.

"Felisya ke mana?"

Laki-laki itu menggeleng. "Gue gak tau ke mananya, yang pasti dia tadi keluar kelas. Mungkin ke kantin."

Adreil mengangguk. "Nih, lo taruh tas gue di atas meja." Setelah mengatakan itu ia berlalu pergi.

"Sama-sama," gumamnya, tentu saat punggung Adreil sudah tidak terlihat. Mana berani dirinya mengatakan hal itu.

ADREIL {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang