~Adreil Ferupsea~

305 7 0
                                    

Felisya mengurung dirinya selama dua hari di kamar, matanya sembab bahkan penampilannya bisa dikatakan sangat acak-acakan. Tanpa menyerah sedikit pun Vano dan anak buah Adreil yang lain terus mengetuk pintu dan sampai menyimpan makanan di depan pintu meski Felisya tidak akan mau menyentuhnya.

"Lo seenaknya sama gue!" Felisya melempar bantal terakhir yang ada di atas kasur sedangkan yang lain berceceran di lantai dengan pasrah.

Kembali dirinya mengingat perlakuan keji Adreil, sayangnya dengan kebodohan Felisya dirinya masuk ke perangkap yang mesti ia hindari yaitu jatuh cinta.

"Gue bisa cinta bahkan ada rasa suka sama cowok biadab kayak lo!" teriaknya lagi dan lagi.

Untungnya setiap ruangan Apartemen Adreil selalu kedap suara.

Tok tok tok!

"Jangan ganggu gue!"

Tok tok tok!

"Pergi!"

Adreil tidak suka menunggu dengan langkah mundur dirinya menatap pintu kamar itu tajam, dengan seringainya ia maju lalu menerjang pintu itu sampai terdobrak dan terbuka lebar.

"Udah cukup kesabaran gue!" katanya dengan napas memburu, dan langkah yang terus mendekati Felisya.

"Gue mau sendiri!"

"Gak! Gue gak akan ninggakin lo sendiri!" bantahnya. 

Adreil mulai kembali menjadi dirinya yang egois, baginya apa yang sudah tergenggam tidak akan terlepas.

Dengan gerakan cepat Adreil memeluk Felisya erat agar gadis itu sedikit tenang dan luluh, Felisya meraung-raung dan memukul Adreil meski pukulan itu tidak terasa sama sekali di tubuhnya.

"Maaf gue udah seenaknya, tapi gue juga gak mau lo seenaknya sama kesehatan lo," bisiknya, pukulan yang semakin lama semakin mengendur.

"Egois!"

Adreil menggendong Felisya menuju kamarnya, dengan hati-hati ia meletakan tubuh gadis yang ada dalam dekapannya. Pelan-pelan tangan itu membenarkan anak rambut yang terjatuh menghalangi wajah Felisya.

Mata yang sayu, raut yang lelah dan tubuh dan pakaian yang tidak terawat. Adreil menghela napasnya. Akhirnya gadis itu tertidur, tidak mungkin dirinya membaringkan Felisya di kamarnya yang sangat tidak pantas di tempati.

Saat dirinya bangkit ingin menemui Fiorra, sebuah tangan melingkar di pergelangannya.

"Jangan pergi, jangan pernah."

Adreil tersenyum dan duduk lalu menatap mata Felisya yang terpejam.

Ternyata dia ngigo.

"Baik sesuai permintaan," ujarnya dengan senyuman khas.

Cukup, selama dua hari ini Adreil mendiamkan Felisya bahkan kabar gadis itu mogok makan selama dua hari kata anak buahnya cukup membuatnya gelisah dan tidak tenang. Adreil menatap Felisya yang tertidur lelap.

Cape banget ya?

Adreil tersenyum, dirinya paham dengan apa yang Felisya rasakan. Gadis itu merasa seperti tertekan karnanya, Adreil memang egois meminta Felisya melakukan hal yang ia suka tapi dirinya semakin berbuat sesukanya.

Tapi, gak ada juga yang bisa larang gue melakukan apapun, kan? Gue Ferupsea penerus dari Ferupsea Corp.

Adreil menatap Felisya lekat.

Dan, seharusnya semua orang memang harus tunduk sama gue, kan? Secara gue sama mereka beda termasuk lo, gue Ferupsea. Iya, Adreil Ferupsea!

Adreil terkekeh, enak saja dia bisa mengaturnya. Perjanjian tetap perjanjian, kalau Adreil mengatakan Felisya milikya. Sampai kapan pun akan terus menjadi miliknya kecuali dirinya sendiri yang membatalkan perjanjian itu, dirinya sendiri. Ya, hanya dirinya.

Adreil memanggil Vano, ia menatap tajam laki-laki yang sebaya dengannya.

"Lo suruh anak buah lo, bersihin kamar Felisya sampe rapih."

Vano yang mendengar itu mengangguk.

"Ingat, bener-bener rapih kalau gue lihat ada barang sedikit saja yang mengganggu pandangan gue atau bahkan debu. Lo dan anak buah lo akan terima akibatnya, paham?" lanjutnya lagi dengan masih terduduk di atas sofa dan kaki kanan yang menimpa kaki kiri, tangan yang bersedekap di dada tidak lupa pandangan tajam mengarah ke arah Vano.

Vano membungkuk lagi dan mengangguk. "Baik, Tuan. Akan sesuai perintah!"

Adreil teringat sesuatu. "Ujian sekolah udah beres, lo udah mulai lanjutin tugas lo?"

Vano mengangguk dan membungkuk.

Adreil tersenyum tertarik dan mulai berdiri menitah Vano mengikuti langkahnya menuju ruangan di mana tempo lalu ruangan itu adalah tempat yang selalu membuatnya sedikit lega dan senang, dengan gerakan Adreil Vano paham.

"Kita bicarakan di sana, termasuk langkah selanjutnya apa!"

*****

Dave menatap Fiorra yang terduduk sendirian di taman kota, dengan langkah kaki santai ia mendekat.

"Bukannya udah balikan sama Adreil, tapi kok masih di sini sendirian lagi." Dengan sengaja Dave menyindirnya, tanpa beban laki-laki itu duduk di samping Fiorra yang menatapnya seperti terkejut.

"Kenapa? Terkejut karna aku bersikap kaya gini?" Dave menebak dengan alis terangkat. "Bukannya hal biasa ya, orang yang udah jatuh cinta akan berubah." Fiorra bungkam.

"Entang itu ke hal baik atau sebaliknya," lanjutnya dengan membalas tatapan Fiorra.

"Aku heran, ke mana ya Dave yang selalu ada di samping Adreil yang udah dia anggap kakaknya sendiri? Dave yang bijak, Dave yang setia kawan dan Dave yang selalu melakukan langkah apa yang di ambil kedepannya dengan kepala dingin dan tindakan bijak." Fiorra berhenti dan menatap Dave sekilas.

"Oh iya aku lupa, padahal barusan aja kamu bilang ya, semua berubah karna cinta hehe iya. Karna cinta semua orang melupakan semua hal dan melakukan sesuatu karna egonya, ego hehe." Fiorra tanpa sadar membuat Dave bungkam, memang itu tujuannya.

"Kamu mulai dikuasai oleh sisi hitam, bagiku kamu benar-benar bukan Dave yang aku kenal dulu."

"Tapi—"

"Dengan cara dan sikap kamu yang kayak gini, malah semakin membuat aku yakin Adreil memang yang seharusnya aku pilih bukan kamu," potong Fiorra lalu bangkit setelah mengatakan hal yang membuat rahang Dave mengeras. Dirinya berlalu pergi meninggalkan laki-laki yang masuk ke list hal yang harus ia jauhi.

"Kita lihat, siapa yang bener-bener egois!" teriak Dave hingga membuat Fiorra terhenti sebentar.

*****

See you next part!

Siapa nih yg paling egois?

Dave Maliendra

Atau

Adreil Ferupsea

ADREIL {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang