Uno

1.5K 70 0
                                    

Bunyi alarm memenuhi kamar bernuansa abu di pagi hari yang cukup cerah, membuat sang pemilik kamar terpaksa bangun untuk mematikannya. Rasa haus membuatnya enggan untuk melanjutkan tidur, menurunkan kaki dari kasur dengan perlahan dan melakukan sedikit peregangan sebelum akhirnya beranjak keluar kamar menuju dapur.

Marva Dirgantara, pemuda dengan celana pendek berwarna hitam dan kaos dengan warna senada tersebut menuruni tangga dengan mata sedikit tertutup dan sesekali menguap.

"Abang! Kalau jalan matanya dibuka yang lebar, ntar ngeglinding siapa yang mau nolongin?" Suara nyaring seorang perempuan membuatnya membuka mata diiringi senyuman tipis di bibir.

Ia melangkahkan kaki sedikit cepat, "Nggak bakal jatoh kok ma," ujarnya setelah berhasil sampai di bawah dengan selamat.

Perempuan itu membalikkan badan, membawa tiga piring roti panggang ke meja makan.

"Mama sama papa sampai jam berapa? Kok pagi-pagi udah sibuk aja sih? Apa nggak capek?" ujar Marv kemudian beranjak mendekati kulkas.

"Tadi malam bang, kalo bukan mama, mau siapa emang? Abang kan nggak mungkin," sahut perempuan itu yang kini hendak naik ke atas untuk membangunkan suaminya.

"Kan ada papa, ma," ujar Marv yang membawa mamanya untuk duduk kembali.

"Mama tunggu sini, biar Marv yang manggil papa," sambungnya dan segera melesat ke atas, meninggalkan Tara yang hanya geleng-geleng kepala dengan kelakuan anaknya.

"Yang!! Kenapa Marv yang bangunin aku?" Tara sudah tidak terkejut lagi dengan hal-hal seperti ini. Dulu, saat mereka masih berlima, Johnny-suaminya itu pasti akan mengomel kalau yang membangunkannya anak-anak mereka.

"Biar mama nggak capek," sahut Marv yang kini duduk di samping Tara, tak mempedulikan Johnny yang melongo melihat kelakuannya. "Heh itu tempat duduk papa,"

"Udah ya, kita makan dulu nanti lagi berantemnya," ujar Tara menengahi dan segera membagi roti yang sudah ia panggang tadi. Ia memang sengaja hanya memanggang roti, karena mereka hanya sebentar di sini. Ketiganya pun makan dengan diam.

"Mama sama papa ngapain ke sini?" tanya Marva yang sebenarnya cukup bingung dengan kedatangan kedua orangtuanya yang dadakan.

"Dihabisin dulu makannya ya bang, nanti mama sama papa mau ngomong," ujar Tara seraya mengelus tangan sang putra.

Mendengar itu, Marva segera menyelesaikan makannya dan mencuci piring serta gelas bekas mereka makan, agar mamanya tak perlu repot melakukan itu.

"Mau bicara apa ma, pa?" tanyanya dengan antusias.

"Bang, Abang nggak kangen adek sama kakak? Adek kangen lo sama Abang," Marva terdiam, jika ditanya seperti itu ia pasti kangenlah.

"Abang kangen kok, pengen juga ke tempatnya adek sama kakak," Tara segera mendekat, memeluk anaknya yang nampak mulai bergetar dengan erat.

"Abang nggak usah takut, kan ada mama sama papa, mama sama papa bakalan lindungi Abang,"

"Nggak boleh, Abang yang harus ngelindungi mama sama papa sama adek juga," Marva menggeleng kuat dalam pelukan Tara, membuat ibu 3 anak itu terharu.

"Nanti kita saling lindungi ya? Sekarang kita pulang ya? Adek udah nunggu di rumah, adek sebenarnya mau ikut jemput Abang tau, tapi belum boleh sama dokter," ujar Johnny sembari mengelus punggung Marva.

"Pa, kalo Abang ikut pulang gebetan Abang gimana?" lirih Mark yang masih dapat didengar oleh Johnny.

"Dibawalah kalo bisa, biar sekalian kita kenalin ke kakak sama adek, tapi kita harus izin dulu sama keluarganya," ujar Johnny dengan senyum bahagia. Akhirnya anaknya sudah tidak trauma lagi dengan perempuan.

"Nggak bisa pa, di negara kita, hubungan gitu nggak mungkin pa," jawab Marva yang membuat Johnny dan Tara membeku. Tak perlu diucapkan dengan gamblang pun Johnny paham apa yang dimaksud Marva.

"Tara, mas minta tolong siapkan barang-barang kita sama barang Marva, kita pulang sekarang," Johnny menoleh pada sang istri, memastikan istrinya aman sampai ke lantai atas.

Plak!!!

Marva memegangi pipinya yang dapat dipastikan memerah, karena kencangnya tamparan Johnny.

"Kamu papa izinin ke Canada bukan buat gini!!! Baru beberapa bulan kamu di sini, kamu sudah kaya gini, apalagi kalau terlalu lama di sini!!" Rahang Johnny mengeras, tangannya mengepal dengan kuat.

"Pa, tapi aku terlalu takut buat dekat dengan mereka!! Nggak mungkin aku punya hubungan sama mereka!!!"

"Kamu kira kamu aja yang trauma?! Mama juga Marva, kalo kamu pikir kamu aja yang sedih dan nyesel, kamu salah!! Kalo bisa biar papa aja, biar kakakmu tetap hidup dan adikmu nggak perlu koma, biar kamu nggak gini!!!" teriak Johnny, membuat Marva terdiam.

Tbc

Johnny as Johnny Dirgantara (50 tahun)
Ten as Tara (49 tahun)
Mark as Marva Dirgantara (24 tahun)

With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang