Octingenti

250 18 1
                                    

Marva mengendarai motor abah dengan pelan sembari menikmati angin sore yang berhembus pelan. Begitu pula Jena yang duduk di belakang.

"Kita jalan-jalan sampe jam 5an aja nggak papa kan?" tanya Jena sedikit berteriak agar dapat didengar Marva.

"Aman," ucap Marva dengan berteriak pula.

Keduanya kembali terdiam, menikmati suasana desa yang sama-sama jarang mereka rasakan. Sesekali Jena mengarahkan ke arah mana mereka harus belok agar tak terlalu jauh dari rumah. Gini-gini walaupun ia cukup lama tidak pulang kampung, ia masih ingat beberapa jalan bahkan sampai jalan tikusnya saat dulu masih ngebolang dengan Jean. Tapi, hanya beberapa, banyak tidaknya.

"Ini kemana lagi?" tanya Marva setelah mereka menyucuk pentol dan menikmati es cekek.

"Lo mau pulang sekarang apa gimana?" tnya Jena yang sudah duduk di belakang Marva.

"Kata lo sampe jam 5 an kan?" tanya Marva.

"Hooh,"

"Kemana dulu deh gitu bentar," ucap Marva kemudian.

"Okeh, ke sawah mau nggak? Gue ada tau sawah yang bagus banget dilihat pas sore-sore guni," tawar Jena sembari mengingat-ngingat jalan menuju sawah yang di maksud.

"Gasss," Marva pun kembali menggas motor abah dengan pelan sesuai arahan yang diberikan Jena.

Hingga sampailah mereka di sebuah pertigaan, "Ini belok ke maan?" tanya Marva.

"Tunggu gue inget-inget dulu,"

'Ke kanan atau kiri ya? Kanan kali ya, kanan kan artinya baik, oke ke kanan,' batin Jena.

"Kanan Marv," Marva pun membelokkan motor abah ke arah kanan.

Tak lama kemudian sampai lah mereka di area persawahan yang masih hijau. Keduanya pun menyusuri jalanan di antara sawah yang hanya bisa diakses dengan berjalan kaki

"Bagus kan?" tanya Jena setelah terdiam selama beberapa menit menikmati hamparan padi yang memanjakan mata.

Marva hanya mampu menganggukkan kepalanya. Seumur-umur ia hidup, belum pernah melihat hal seperti ini membuatnya tak mampu berkata-kata.

Keduanya menikmati waktu dan suasana di persawahan dengan saling memfoto satu sama lain.

"Jen, udah yuk," ujar Marva sembari melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 17.30, padahal tadi Jena bilangnya sampe jam 5 an doang.

"Bentar marv, nanggung ini, bentar lagi sunset," ujar Jena sembari terus memfoto beberapa spot sawah.

"Kata lo sampe jam 5an doang," keluh Marva, jujur saja ia merasa tidak nyaman saat ini.

"15 menit deh 15 menit," tawar Jena yang mau tak mau diiyakan oleh Marva.

Ia pun berjalan sedikit menjauh dari Jena, berkeliling sawah melihat-lihat mungkin ada hal yang menarik. Di rasa sudah 15 menit, Marva kembali ke tempat tadi dengan langkah pelan, takut tergelincir. Bibirnya bersenandung kecil, merasakan angin sore yang rasanya lebih kencang dan sedikit lebih dingin dibanding tadi.

Di sisi lain, Jena menyimpan handphonenya setelah merasa puas membidik banyak hal, "Dah Marv, pulang kita," ajaknya pada pemuda kota yang tadi ia ajak berkeliling.

"Loh Marv?" Jena berputar, berusaha mencari keberadaan Marva yang tak terlihat di matanya.

"Kemana si nih anak?" Jena akhirnya memutuskan mencari Marva, berjalan agak ke tengah.

...

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh!!!" teriak beberapa orang dari depan rumah terdengar hingga dapur rumah abah.

With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang