Ter

552 48 3
                                    

"Loh teh Jena mana?" tanya Jean sembari memasuki kamar kembarannya. Ia sama sekali tak melihat atensi seorang gadis berambut panjang dengan kulit putih dan tinggi yang menyamai dirinya.

Tapi, atensinya teralihkan pada seseorang yang berdiri di balkon kamar kembarannya, rambut pendek berwarna biru dengan kaos sleveless, juga lengannya yang sedikit berotot.

"Pacar teh Jena," gumamnya seraya mendekat.

"Tapi, masa iya ibu ngebolehin teh Jena bawa pacar ke kamar, mana bajunya gitu lagi," batin Jean yang kini mengambil guling dan berjalan mengendap-endap.

Bugh!! Bugh!! Bugh!!

"Siapa lo hah?! Berani-beraninya masuk kamar teteh gue, mau ngapain lo?!!" Jean terus memukul orang itu dengan guling, tak memberinya ampun.

"Heh stop! Stop!"

"Nggak bakalan!! RASAIN LO!!!"

"Ini gue Jena woy!!" Jean lantas menghentikan pukulannya, mengucek-ngucek matanya.

"Eh iya bener teh Jena hehehe," ujar Jean seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Ih iyi binir hihihi," Jena melangkahkan kakinya memasuki kamar, meninggalkan Jean yang panik. Kembarannya kalo udah ngambek susah dibujuk masalahnya.

"Teh, maafin Jean atuh,"

"Iya-iya, santai," ujar Jena membuat Jean melongo.

"Lah cepet banget," batin Jean bingung, juga bersyukur disaat yang bersamaan.

Ia kembali menatap wajah kembarannya yang sekarang tampak lebih kurus dengan rambut biru dan kulit putih agak pucat, walaupun memang seperti itu sejak dulu. Tapi, melihatnya lagi sekarang, tepat di depan matanya, membuat kenangan-kenangan mereka dulu kembali terputar.

Dulu ketika keduanya masih SMA, Jena masih seperti gadis remaja pada umumnya dengan rok selutut dan rambut panjang yang indah. Sebelum kejadian itu terjadi. Saat Jean dan Jena yang ingin pulang setelah selesai ekskul. Ketika sudah sampai di depan sekolah, Jean melupakan bukunya. Ia sudah mengajak Jena untuk balik ke dalam, tapi Jena nggak mau. Ia sudah terlalu lelah akibat latihan ekskul tadi. Jadi Jena memutuskan untuk menunggu di depan sekolah saja.

Tapi, saat Jean kembali, saat itu juga ia menyesal. Menyesal kenapa meninggalkan bukunya, menyesal kenapa memilih mengambil bukunya dan meninggalkan Jena di depan sekolah yang sepi sendirian. Seharusnya ia biarkan saja bukunya, biarkan saja ia dihukum besok karena tidak mengerjakan tugas daripada melihat kembarannya dilecehkan di depan matanya.

Badannya membeku, ia terlalu shock dan menyalahkan dirinya sendiri sampai bingung harus melakukan apa. Di depan matanya, Jena terduduk, tangannya dipegang ke belakang dengan kuat oleh seorang preman agar tak berontak, sedangkan satu preman lainnya mengelus pipi kembarannya yang sudah basah oleh air mata dan tampak memerah, seperti bekas tamparan. Bahkan sesekali tangan preman itu mengelus sisi badan kembarannya.

"LO APAIN TETEH GUE?!!" teriak Jean ketika tangan preman tersebut nyaris membuka seragam sekolah Jena. Kakinya refleks menendang kepala preman tersebut, membuat preman itu terpental cukup jauh dan langsung memukulinya dengan brutal hingga preman itu pingsan.

"Oh lo adiknya," ujar preman yang memegang tangan Jena, membuat Jean menghentikan pukulannya dan menoleh, "Teteh lo cantik banget ya, nggak sia-sia gue nunggu berhari-hari," Satu tangan preman tersebut menggantikan tangan preman sebelumnya, mengelus wajah Jena.

Tak lama tangan itu turun ke bawah, berusaha mengeluarkan kemeja sekolah Jena dari roknya dan mengelus perut Jena.

"LEPASIN TANGAN LO DARI TETEH GUE" Tangan Jean terkepal, kakinya hendak melangkah.

"Kalo lo mendekat, gue bakalan ngelakuin hal yang lebih dari ini," ujar preman tersebut membuat Jean terdiam.

Ia menatap wajah Jena yang tampak sangat shock, tetehnya pasti bingung, kaget, takut, sampai tidak bisa melakukan apa-apa.

"Bagus, turutin kata-kata gue dan lo bakal lihat kakak lo hancur sekarang juga," ujar preman tersebut seraya menarik kemeja Jena dengan kuat, membuat kancingnya terlepas semua.

"BANGS-"

BUAGH!!!

Jean segera berlari, bukan untuk memeluk Jena ataupun menenangkan. Emosinya membawanya mendekati preman yang kini tersungkur akibat pukulan seseorang, memukulinya tanpa ampun.

"Hei, kamu nggak papa?" Setelah dibantu berdiri, Jena berusaha menjauh, ia takut. Kejadian tadi masih terekam jelas dibenaknya.

"Jangan takut, kita tunggu adekmu ya, kelihatannya dia emosi sekali, saya pasti juga gitu sih," Jena mendongak, matanya menangkap senyum menenangkan dari sosok di depannya.

"Te-te-terima kasih," ujar Jena seraya menunduk, tapi matanya malah menangkap kemejanya yang sudah malfungsi.

Greppp....

Jena malu, otak dan badannya sudah tak sejalan. Saking malunya ia sampai lupa kejadian tadi dan  berakhir dengan memeluk lelaki di depannya agar lelaki itu tidak melihat sesuatu yang tidak seharusnya.

"Loh, teteh! Jean di sini, itu bukan Jean, jadi dilepas ya pelukannya, sini sama Jean aja," ujar Jean yang terdengar dari belakang tubuh Jena, tapi Jena hanya menggeleng yang tentu membuat Jean dan lelaki itu bingung.

"Kemeja gue Je," lirih Jena yang dapat didengar keduanya.

"Eum, kang... Anu,"

"Panggil Ava aja,"

"Ah iya, kang Ava makasih ya, tapi bisa nggak kang Ava tutup matanya," Ava mengernyit, tapi ia hanya mengangguk mengiyakan.

"Makasih kang," ujar Jean setelah Jena kini beralih memeluknya.

"Iya sama-sama, tapi kakakmu kenapa?"

"Anu kang, kancingnya lepas," jawab Jean yang justru membuat Ava semakin bingung. Hingga akhirnya lelaki itu paham dan membuat pipinya sedikit memerah.

"Ini," ujarnya seraya memberikan hoodie putihnya yang baru saja ia lepaskan.

"Eh kang nggak usah," tolak Jean, dibantu menendang preman tadi saja ia sudah sangat bersyukur.

"Nggak papa, daripada kalian pulang pelukan gitu, atau kamu mau telanjang dada, biar kemejamu dipake tetehmu?"

"Jangan ngelamun Je," ujar Jena yang kini membereskan barang-barangnya.

"Teh maafin gue ya," celetuk Jean, yang disambut gelengan kepala oleh Jena, "Santai aja sih Je, kaya nggak pernah gitu aja lo mah, toh nggak sakit juga, cuma puyeng dikit,"

"Teh, gue bener-bener minta maaf, gara-gara gue..... gara-gara gue lo jadi gini, andai aja waktu itu.."

"Je, udah, itu udah 5 tahun yang lalu, udah lewat, gue nggak papa, cuma emang nyaman gini aja, bukan karena waktu itu kok," Jena menghentikan kegiatan membereskan barang-barangnya dan mendekati Jean, menatapnya dengan senyuman tulus nan menenangkan.

Jean lantas memeluk Jena dengan erat, kembali menangis, setelah sekian lama perasaan bersalah dan rasa menyesalnya kembali muncul.

"Jian nggak diajak pelukan nih?"

TBC

Tremor nih tangan nulis kisah Jena

With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang