"Eh, itu siapa Jen? Sepupu lo ya? Kenalin dong kenalin,"
"Anu gue-"
"Eh, nggak usah malu gitu, sini-sini," Gadis itu menarik tangan Marva dan membawanya duduk di tengah-tengah.
"Kenalin gue Haera, lo bisa panggil gue apa aja, Hae, Ra, Era, Hera, atau sayang juga boleh," ujar gadis yang diketahui bernama Haera itu semakin membuat Marva kikuk.
"Gu-gue Marva," ujarnya.
"Eh, jangan takut gitu, gue nggak gigit kok, paling gue sayang doang, bolehkan?" ujar Haera dengan genit, semakin membuat Marva bergidik ngeri. Ia ingin bergeser tapi tepat di sampingnya ada Jena.
"Kalo nggak boleh gue sayang, gue jadiin pacar aja ya, ntar lo gue cintai dengan sepenuh hati," Marva segera menoleh pada Jena, memohon pertolongan pada gadis itu yang tampaknya senang melihatnya digoda oleh temannya.
"Ra ra, jangan gitu kasian anak orang,"
"Ya abis, ganteng banget gini, sayang kalo dilewatin," celetuk Haera membuat Jena menghela napas.
"Inget calon tunangan lo, ntar nggak dichatt bentar, nggak ditelpon sehari, uring-uringan lo,"
ujar Jena mengingatkan kelakuan Haera saat pacarnya, Luke tak menghubunginya."Hehehehe," Haera yang disindir hanya mampu cengengesan, ya gimana seperti itulah adanya.
"Eh, gue pulang dulu ya, udah sore, ntar ketemu pas wisuda ya Jen," pamit Haera sembari merapikan barangnya dan berdiri.
"Lo langsung balik?" Jena segera berdiri, ikut ke depan untuk mengantarkan temannya.
"Iya, kata pacar gue, jangan kelamaan di sini, ntar kita khilaf katanya, malah nggak sesuai tanggal yang ditentuin ntar,"
"Hah, lo mau nikah?" tanya Jena.
"Ups, nggak langsung nikah juga Jen, kita disuruh tunangan dulu, terus sebulan kemudian baru nikah," jelas Haera pasrah, padahal niatnya ia ingin mengejutkan temannya itu dengan undangan pertunangan. Eh malah keceplosan.
"Tunangannya kapan?"
"Ntar gue kabarin, tenang gue pasti ngabarin kok, lo jangan banyak tanya, ntar gue makin malem sampe sananya," ujar Haera dan segera beranjak menuju mobilnya.
Tin... tin....
Haera mengklakson mobilnya sebagai tanda pamit pada Jena yang masih ada di depan rumah.
Setelah mobil Haera tak terlihat, ia segera membalikkan badannya, berniat memasuki rumah, sebelum suara motor Abah terdengar.
"Tumben di luar, Jen?" tanya Jamal pada putrinya yang sangat jarang keluar kamar, jika sedang sendiri di rumah.
"Tadi Haera abis dari sini, bah," jawab Jeno sembari mengambil tas kerja Abah.
"Tumben udah pulang Haeranya Jen, padahal masih jam 4, biasa juga sampe malam," sahut Dian yang tadi ngantar makan siang untuk Jamal, sekalian ngantar pesanan kue.
"Haera mau langsung balik bu, katanya takut khilaf sama bang Luke kalo kelamaan di sini,"
Ketiganya kemudian melangkah masuk dan menemukan Marva yang sedang membereskan ruang keluarga.
"Lah lo ngapain?" tanya Jena bingung.
"Menurut lo ngapain?" jawab Marva masih membereskan ruang tengah. Ia ingin cepat selesai dan pergi keliling desa. Hanya itu, sesampainya di sini mereka malah pergi-pergi cukup jauh untuk memenuhi keinginan adiknya, jadi ia belum menikmati suasana desa.
Jamal segera mengambil tas kerjanya dan memberikan pada Dian, "Bantuin sana,"
"Loh bah?"
"Yang berantakin kan kamu sama Haera, kenapa jadi Marva yang beresin?"
"Ehehehe, iya-iya ini Jena beresin," Jena pun segera membantu Marva membereskan kekacauan yang sudah dibuat olehnya bersama Haera. Sedangkan Jamal dan Dian memasuki kamar mereka untuk membersihkan diri.
...
"Akhirnya," ujar Jena sembari mengistirahatkan tubuhnya di sofa, diikuti Marva di sampingnya.
"Jadi?" tanya Marva pada Jena yang sedang menutup matanya.
"Asli, lo mau kemana sih? Ngebet banget daritadi, padahal udah kemana-mana kemarin,"
"Keliling sini aja,"
"Hahhhh..., Oke oke, gue siap-siap dulu," ujar Jena akhirnya mengalah, kasian juga sama Marva daritadi dijanjiin keluar, tapi nggak jadi-jadi.
"Yess, gue tunggu sini cepetan," ujar Marva sembari menyandarkan badannya pada sofa dan menutup matanya.
Tak membutuhkan waktu lama, Jena sudah keluar dari kamarnya dengan sebuah kemeja flanel kotak-kotak berwarna hitam putih.
"Lo bilang siap-siap, apanya yang siap-siap?" tanya Marva menelisik penampilan Jena dari atas hingga bawah dan kembali ke atas lagi. Seperti tak ada yang berubah.
"Bawel, mau jalan-jalan nggak?" Marva segera mengangguk antusias. Hari terakhir tidak boleh menyia-nyiakan waktu liburan.
"Lo keluar dulu, gue mau minjem kunci motor Abah, lo bisa naik motorkan?" tanya Jena sembari melangkah ke dapur.
"Aman," Marva pun segera melangkah keluar.
Jena yang sudah sampai di dapur, segera mendekati ibunya, "Bu, kunci motor Abah di mana?"
Dian menghentikan kegiatannya menyiapkan bahan-bahan untuk makan malam nanti, "Kamu mau ke mana?"
"Tuh, ngantar anak kota keliling desa," jawab Jena seadanya.
Ibu 2 anak itu menelisik penampilan putrinya. Celana jeans selutut ditambah kaos sleveless dan kemeja flanel, tipe putrinya sekali.
"Nggak boleh gitu teh, kamu nggak mau ganti baju dulu, masa jalan-jalan sama cowo bajunya gitu, yang tertutup lah teh, paling nggak pake kaos pendek, jangan ketekan gitu," ucap Dian yang kini memberikan atensi penuh pada Jena.
"Nggak usah ya bu hehe, paling nggak lama juga kok, terus inikan pake kemeja juga, jadi aman, okay Bu?" Jena memberikan jempolnya pada Dian dengan alis terangkat.
"Terserah teteh aja deh, itu tadi kunci motornya di taruh Abah di atas kulkas, ibu sekalian nitip bahan kue ya," ujar Dian membuat Jena mengernyitkan keningnya.
"Ada yang persen kue lagi bu?"
"Nggak, Chena sama Marva kan malam ini pulang, jadi ibu mau bikinin kue buat oleh-oleh sekalian, cukup kok paling 4 jam an selesai," Dian melangkah menuju samping kulkas, tempat ia meletakkan dompetnya dan memberikan 3 lembar uang seratus ribuan pada Jena.
"Okedeh, ntar Jena beliin, Jena berangkat dulu bu,"
"Hati-hati ya!"
.
.
.
.
.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
With You
Random"Lo kalo gay jangan jadiin gue tameng lo dong, udah gay ngerepotin orang aja bisanya!" "Gue gay? Lo kali lesbi, dan juga gue nggak ada tuh jadiin lo tameng, lo kira gue sudi nikah sama lo! Sorry gue punya pacar ye, nggak kaya lo perawan tua!!!"