Duodecim (+)

110 8 1
                                    

"Jena.. Jena.. Kenapa kamu ninggalin aku? Kenapa? Kenapa? KENAPA?" Lukman tersentak, ia mengucek matanya dan terkejut ketika melihat Marva sudah mabuk di depannya dengan 1 botol vodka yang sudah kosong.

Keduanya pergi meninggalkan villa menuju sebuah club terdekat setelah pembagian kamar. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba saja Marva mendatangi kamarnya dan mengajaknya pergi tanpa mengatakan tujuan keduanya dan tanpa penolakan, membuatnya mau tak mau mengikuti. Dan setelah sampai club, Marva langsung memesan satu botol vodka, awalnya ia meminumnya dengan perlahan sembari bercerita banyak hal yang sudah sangat sering ia dengar, membuatnya agak bosan sampai tak menyadari jika sahabatnya sudah menghabiskan 1 botol vodka dan kesadarannya nyaris hilang.

"Gila," gumamnya tak percaya melihat keadaan Marva yang sebelumnya tak pernah ia lihat.

"Man," panggil Marva setelah mendengar suara lirih Lukman.

"Lo di mana?" Marva memutar-mutar kepalanya tak tentu arah, mencari Lukman yang jelas-jelas ada di depannya.

"Lo ngilang juga kaya Jena? Kenapa gue ditinggalin orang-orang? Kenapa selalu aja ada yang ninggalin gue? Nggak suka dengan gue?" racau Marva masih dengan kepalanya yang mencari Lukman.

"Gue nggak ninggalin lo, gue di sini, di depan lo Marv," ujar Lukman membuat Marva mencoba memfokuskan pada bayangan yang sedikit terlihat di depannya.

"Lo di sini? Lo bisa cari Jena nggak Man? Cariin Jena, gue mau ketemu, mau nanya kenapa dia ninggalin gue?" racau Marva kembali membuat Lukman berkaca-kaca.

Ia tentu tau mengapa temannya seperti ini. Di tinggal kekasihnya saat masih SMA, ditinggal kakaknya pergi karena orang gila yang menyukai ayahnya, nyaris ditinggal sang adik karena orang yang sama, ditinggal kekasihnya lagi saat di Jerman, karena paman Johnny menemuinya dan menyuruhnya pergi, kemudian ditinggal istrinya di kereta. Walaupun ia tau, Marva belum tentu mencintai istrinya atau bahkan menerima pernikahan mereka dari cara ia bercerita padanya, tapi ia tidak terbiasa ditinggalkan, ia takut orang-orang meninggalkannya karena ketidakmampuannya melindungi mereka, ia takut dibayang-bayangi rasa bersalah yang sebenarnya tak perlu ia rasakan.

"Kita pulang ke villa Marv," ucap Lukman seraya memapah Marva, membawanya keluar menuju mobil mereka dan membawanya kembali ke villa.

...

"Ra, panas, badan gue rasanya panas semua," ujar Jena setelah berhasil melepaskan diri dari OB yang menjebaknya dibantu oleh Haera.

"Ya lo sih, gue bilang apa, dia suka sama lo dan mau jadiin lo istri keempat, gue suruh jaga-jaga, lo malah nyalahin gue," ujar Haera kesal seraya memperbaiki pegangan Jena pada dan bersusah payah membawa sahabatnya ke kamarnya.

"Diem... gue kepanasan ini, gue buka baju ya," sahut Jena yang mulai menurunkan resleting jaketnya.

"Heh diem tangan lo," Haera langsung menangkap tangan Jena dan memegangnya dengan kuat agar tak bergerak membuka bajunya lagi.

"Untung gue ikutin lo ya, kalo nggak bener-bener jadi istri keempat lo, awas lo kalau nanti-nanti nggak ngikutin kata-kata gue lagi, gue gibeng lo," gerutu Haera sembari menyeret Jena yang kesusahan berjalan.

"Jalan yang bener, jangan meleyot kaki lo," Haera terus menggeruru, karena Jena tak bisa berjalan dengan benar.

"Nggak meleyot, gue jalan bener, ini badan gue panas, lo jalannya lama, gue udah lemes, kayanya sakit gue," sahut Jena membuat Haera semakin kesal.

"Lo yang jalannya lama ya, mana kunci kamar lo, kasih ke gue," ujar Haera saat melihat kamar-kamar villa tempatnya dan Jena sudah dekat.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 06 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang