"JEVAN!! MAIN YOK!!" Jeno berteriak di depan pintu balkon kamar Jevan.
Jeno sengaja berteriak seperti itu, karena dia tau kalo temannya ini sedang terpukul mendengar kenyataan bahwa salah satu sahabatnya memiliki penyakit keras.
Jevan tipikal orang yang suka menyendiri jika sedih, dan sering kali Jeno memergoki Jevan yang tengah nangis sendirian di pojok kamarnya.
Nggak ada sahutan dari Jevan, Jeno pun berinisiatif untuk menerobos masuk ke dalam.
Dan bener saja, Jevan sedang nangis di bawah ranjangnya dan di menelungkupkan wajahnya di dalam kedua lututnya. Jeno berjalan perlahan mendekati Jevan dan duduk di sebelahnya.
"Gue tau lo pasti bakal gini."
Jevan mendongakkan kepalanya. "Kapan lo masuk?"
Mata Jevan terlihat sangat sembab
"Si anjir! Lo mendadak tuli kah tadi?"
"Gue nggak denger."
"Sama aja."
"Beda!"
"Ya dah, beda. Habis nangis masih sempet-sempetnya ngajak kelai."
"Bodo."
Jeno menghela napas, dan itu sukses membuat Jevan kembali menoleh ke arahnya.
"Kayaknya lo lagi banyak beban? Right?" Jevan menaikkan satu alisnya.
"Lo juga, anying!"
Jevan menghela napas. "Kita sama-sama lagi banyak beban."
"Sumpah, gue masih nggak nyangka..." Jevan kembali menelungkupkan wajahnya di antara kedua lututnya.
"Gue juga..."
"Istilahnya itu ya kita yang lagi ngobrol santai tau-tau ada yang nonjok kita dari samping."
Jeno diam, dia membiarkan Jevan untuk berbicara.
"Sakit nggak? Jelas lah sakit, jing!"
"Andai kita bisa merubah takdir, andai kita bisa tau lebih awal kita nggak bakal se-kecewa ini... andai—" Jevan nggak bisa melanjutkan kata-katanya karena sesak di dadanya.
"Sekarang hanya bisa berandai-andai doang, Jen..."
Jevan terisak. Jeno menitikkan air matanya, dia langsung mengusap air matanya dengan punggung tangan.
"Kita hanya bisa berdoa dan berharap pada Tuhan beri kesempatan Ona untuk hidup lebih lama lagi..."
"Dunia memang se-bercanda ini ternyata..." Jeno tersenyum miris.
"Ona pasti sembuh kan?"
"InsyaAllah..."
"Hanya Tuhan yang bisa mengabulkan doa kita, Pan."
"Udah ah, capek gue mellow." Jevan menarik ingusnya.
"Jijik anjir!!"
"Idung-idung gue, kenapa lo yang sewot?!"
"Geli anying liatnya!!"
"YA NGGAK USAH DI LIAT!!"
"TAPI LO ADA DI SAMPING GUE, ANJENGG!!"
"Dah ah, gue mau ambil minum dulu. Seret tenggorokan gue."
"Yeee, gue juga, Pan. Ambilin ya."
"Lo kira gue babu lo apa?!"
"Oh merasa ya?" Jeno berpura-pura seperti orang terkejut.
"Anjing!"
Jeno tertawa melihat wajah Jevan yang sangat pias. Setelah Jevan nggak ada di hadapannya, Jeno kembali menghela napas dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bushed
FanfictionTentang kehidupan Fiona Adhyastha dan penderitaannya ┈┈┈┈┈┈┈❆❆❆