"Sudahlah, Rai. Kau lebih baik fokus belajar saja. Berorganisasi tidak masalah, tapi Ibu rasa tak perlulah kau membentuk ... apa itu namanya-"
"Himawarinoie, Bu," sambung Rai.
"Ya, itu. Apa lagi hanya untuk membantu perempuan-perempuan lain menyelesaikan masalah. Hah, kau ini. Jika mereka punya masalah, biarkan mereka menyelesaikannya sendiri, kau tak perlu ikut campur."
"Aku tak akan ikut campur jika masalah itu hanya masalah kecil, Bu." Rai menggigit bibirnya. Ini bukan pertama kalinya orang tuanya berpikir bahwa Himawarinoie yang didirikan Rai hanya membuang-buang waktunya saja. "Masalahnya, banyak dari mereka yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan, mereka butuh dukungan penuh dan tujuan dari Himawarinoie adalah untuk merangkul mereka, meyakinkan mereka bahwa mereka tak sendiri-"
"Kau sudah katakan itu pada Ibu ribuan kali, Rai," sela ibunya, "tapi apa yang kau dapatkan? Kegiatan itu pada akhirnya semakin menyita waktu yang seharusnya bisa kau manfaatkan untuk belajar."
"Ibu tak perlu cemas, aku sejak dulu selalu bisa membagi waktu. Lagi pula, bersama mereka, aku juga banyak belajar."
Perbincangan Rai dengan orang tuanya di telepon sore itu membuatnya harus sedikit bersabar. Tak mudah, memang, sebab kedua orang tua Rai juga masih memiliki pola pikir yang sama: kesetaraan gender tidaklah penting. Bahkan mereka berpikir bahwa orang-orang yang mempermasalahkan itu hanya berusaha mencari perhatian dan punya terlalu banyak waktu luang. Itulah kenapa mereka tak terlalu suka setiap kali putri mereka bercerita tentang kegiatan aktivismenya.
"Baiklah, jika kau memang bisa menjamin itu, tapi ingat, Ibu dan Ayah terus membiayaimu hingga sejauh ini karena kami percaya padamu."
"Aku tidak akan menghancurkan kepercayaan yang telah kalian berikan," janji Rai.
***
Suasana ruang kelas lebih riuh dari biasanya. Semua orang bersiap untuk menghadapi ujian tengah semester hari pertama ini. Meski memang semua orang harusnya sudah belajar dan mempersiapkan diri mereka dari rumah, tetap saja ada yang panik dan masih berjalan ke sana sini, meminjam catatan.
Hanya Rai yang tampak tenang, ia sudah belajar sejak jauh-jauh hari. Lebih tepatnya, ia memang selalu belajar setiap hari, sehingga kapan pun ujian datang, ia akan selalu siap.
Seseorang memasuki ruang kelas besar dengan kapasitas seratus mahasiswa itu. Seorang pria paruh baya berkacamata dengan rambut keperakan di sana-sini. Kehadirannya seketika membuat semua mahasiswa kembali tenang di tempat duduknya masing-masing, tetapi mereka heran.
Pria itu bukanlah orang yang seharusnya menjadi pengawas ujian hari ini.
"Misaki Rai," panggilnya. Matanya menelisik ke seluruh mahasiswa yang tengah duduk, berusaha menemukan wajah yang dicarinya.
Dengan sigap Rai langsung berdiri di antara puluhan mahasiswa.
"Kau diminta untuk menghadap Tuan Isao Nobi di ruangannya."
Tanpa banyak berkata-kata, Rai segera melangkah dan mengikuti pria itu yang kini telah sampai di pintu kelas, bersiap keluar dari sana. Rai tak perlu banyak bertanya. Isao lagi, pastilah dekannya itu akan menceramahinya tentang hal yang sama seperti beberapa hari lalu.
"Maafkan aku, Tuan Isao, tetapi jika anda tidak keberatan ... ujianku akan dimulai dalam beberapa menit," ucap Rai saat ia baru saja duduk. Namun Isao tampak tak menghiraukannya. Ia hanya terus memandangi kertas-kertas yang ada di atas meja.
"Jangan cemas, Nona Misaki." Isao akhirnya mengangkat wajahnya dan memandang Rai dengan ekspresi dingin. "Setelah ini, tak ada lagi ujian yang harus kau khawatirkan."

KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Drug Dealer (TAMAT)
Romance"Love is a drug, and you ... are the dealer." -Rai Misaki- --- Setelah di-drop out dari kampusnya akibat aktivisme feminis yang ia lakukan, Rai Misaki meninggalkan Jepang dan menjalani hidupnya sebagai imigran gelap di Inggris dengan menjadi pengeda...