"Aku bisa membuka pintu mobilnya sendiri, Rob," ucap Rai dengan nada bosan ketika Rob membukakan pintu mobil untuknya.
"Well, jika aku mau melakukannya, kenapa kau melarangku?" Rob menutup pintu setelah Rai masuk.
Rai menghela napas. Ia gugup, ia sama sekali tak punya gambaran mengenai acara yang akan dihadirinya ini.
"Apa yang harus kulakukan saat sampai di sana? Bagaimana jika mereka menanyakan pertanyaan-pertanyaan aneh padaku?" tanya Rai. Ia tak henti-hentinya melirik kaca spion atau membuka kamera ponselnya untuk memeriksa riasan kalau-kalau ia telah tak sengaja mengucek mata dan merusak eyeliner-nya.
"Jangan jauh-jauh dariku dan kau akan baik-baik saja," ucap Rob tenang. "Lagi pula pertanyaan aneh seperti apa yang bisa mereka tanyakan padamu?"
"Yaa ... bagaimana jika mereka bertanya apakah aku kekasihmu?"
"Hahaha!" tawa Rob pecah. "Bukankah itu bagus?"
"Kau gila, aku tidak mau jika mereka benar-benar akan berasumsi seperti itu!" Rai menninju lengannya.
"Argh!" pekik Rob, tinjuan Rai cukup kuat. Mungkin akibat dari rasa gugup dan cemas yang harus dilampiaskan. "Tenanglah, tak akan ada kamera atau wartawan di sana. Ini acara tertutup. Jika mereka bertanya, katakan saja bahwa kau sepupuku."
"Aku bisa saja mengatakan itu, tapi tak mungkin mereka percaya, kan??" Rai melotot. "Ah, sudah kuduga, harusnya aku tak ikut denganmu."
"Kau berpikir terlalu jauh. Apa kau kira mereka akan peduli pada kita? Tidak. Mereka semua akan sibuk dengan urusannya masing-masing, memotret dan merekam video untuk kebutuhan media sosialnya masing-masing."
Meski Rob benar bahwa tak ada wartawan yang meliput acara itu, tetap saja Rai merasa canggung saat tiba di sana dan perhatian semua orang tertuju padanya. Terlebih lagi, saat Rob tiba-tiba menarik tangannya dan melingkarkannya di lengannya sendiri, seolah Rai tengah berjalan sambil menggamitnya.
"Apa yang kau lakukan?!" Rai berbisik geram. Ia berusaha melepaskan tangannya tetapi Rob menahannya.
"Hanya berusaha meyakinkan orang-orang bahwa kau memang datang bersamaku jadi mereka tak akan berbuat macam-macam padamu," jawab Rob santai sambil sesekali melempar senyum pada orang-orang yang melihatnya. "Hm, kita duduk dimana, ya?"
Rob memandang sekeliling restoran besar yang sudah disewa khusus untuk acara malam itu. Akhirnya ia menemukan meja yang masih kosong, sedikit jauh ke sudut tetapi tak terlalu banyak orang di sana.
"Ah, di sana saja." Rob tak melepaskan Rai dan mereka terus berjalan menuju meja itu.
Sementara itu, Jade sejak tadi berada di mejanya sambil terus memperhatikan orang-orang, mencari sosok Rob. Kemana dia? Apa dia tak hadir? Tak mungkin, pikir Jade. Bukankah Rob adalah pemeran utama? Dialah yang paling dinantikan kehadirannya.
"Jade, kau hanya sendirian? Boleh aku duduk di sini?" Ben datang dan tersenyum padanya.
"Oh, Ben ... tentu saja, duduklah." Jade memaksakan senyum. "Apa kau melihat Rob? Atau dia tidak datang malam ini?"
"Rob? Dia sudah datang lima menit yang lalu. Ada di sana bersama plus one-nya." Ben memberikan isyarat singkat dengan kepalanya.
"Benarkah? Tunggu, kau bilang plus one? Dia bersama plus one?" Jade mengerutkan dahi.
"Yeah, aku tadi sempat berpapasan dengannya. Gadis itu cantik sekali."
"Apa??" Jade ternganga. Ia langsung berdiri dari kursinya dan pergi meninggalkan Ben.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Drug Dealer (TAMAT)
Romance"Love is a drug, and you ... are the dealer." -Rai Misaki- --- Setelah di-drop out dari kampusnya akibat aktivisme feminis yang ia lakukan, Rai Misaki meninggalkan Jepang dan menjalani hidupnya sebagai imigran gelap di Inggris dengan menjadi pengeda...