Jade menghampiri Rob di ruangannya malam itu setelah kegiatan syuting terakhir selesai.
"Ini hari terakhir syuting dan setelah ini, kita mungkin akan butuh waktu lama sampai bisa bertemu lagi." Kedua tangan Jade mengusap pundak Rob. Jemarinya seolah menari manja di sana. "Oh, dan aku juga akan berada di Amerika selama beberapa minggu ke depan."
"Lalu?" Rob memutar matanya. Ingin rasanya ia mendorong Jade agar menjauh, bila perlu hingga gadis itu jatuh tersungkur. Namun ia tak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada karirnya jika ia melakukan itu.
"Well, apa kau tidak mau menghabiskan waktu bersamaku setidaknya untuk malam ini?" Jade memberikan tatapan yang menggoda melalui cermin. "Tidakkah kau akan merindukanku selama aku pergi?"
"Kau mau pergi? Pergi saja." Rob menyingkirkan tangan Jade yang sejak tadi menggelayuti leher dan pundaknya lalu segera melangkah pergi dari sana. "Bila perlu tak usah kembali."
Karena proses syuting film The Quiet Dusk telah selesai, Rob menerima beberapa tawaran untuk syuting iklan serta menjadi bintang tamu untuk beberapa talkshow. Selebihnya, ia lebih memilih untuk menghabiskan waktu di rumah.
"Hei, bisakah kau datang?" Sore itu Rob menelepon Rai. "Sekarang."
"Tidak bisa sekarang. Aku akan datang nanti malam," jawab Rai. "Aku sangat mengantuk dan sedang mencoba tidur siang."
"Kenapa kau tak mencoba marijuana agar masalah insomniamu hilang?" Rob memutar matanya.
"Baka!" maki Rai dalam bahasa Jepang dan sudah tentu Rob tak tahu artinya. Bersamaan dengan itu, ia langsung menutup telepon.
"Huh, gadis ini!" Rob menggumam kesal. Karena merasa bosan, ia pun memutuskan untuk keluar rumah.
Dengan memakai hoodie dan kacamata hitam, Rob mengendarai Audi-nya yang terbaru, menyusuri jalanan kota dengan santai. Namun tak lama, sebuah keramaian menarik perhatiannya. Ada banyak orang yang mungkin berjumlah kurang lebih seratus yang terdiri dari gadis-gadis muda hingga wanita paruh baya, berjalan beriringan sambil membawa poster dan spanduk.
Rob melambatkan mobilnya dan membuka kaca jendela untuk melihat lebih jelas. Poster dan spanduk yang mereka bawa berisi tulisan yang sepertinya adalah slogan seperti ....
Girls just wanna have fundamental human rights!
We have the right to be heard!
Women rights are human rights!
Equal positions with equal pay!
Gender roles are dead!
Rob berniat menutup kaca jendela mobilnya kembali tetapi pandangannya lebih dulu menangkap satu sosok yang amat dikenalinya dari kejauhan.
Rambut pendek seleher yang amat hitam, celana panjang longgar, jaket denim yang tampak kusam.
"Candy?!" Rob menggosok matanya karena tak percaya, tetapi itu memang Rai, penglihatannya tak salah. Gadis itu tampak seperti anak kecil dengan postur tubuhnya yang pendek dan berjalan di barisan paling belakang. Ia membawa poster yang terus diangkatnya tinggi di atas kepala.
Segera saja Rob memarkirkan mobilnya di area parkir terdekat yang tersedia lalu dengan setengah berlari, ia menghampiri rombongan yang tampak seperti sedang melakukan mars itu. Ia mengikuti dari belakang dan terus mendekat, setelah itu ia dengan cepat menarik lengan Rai.
"Hei!" Gadis itu terkejut dan langsung berbalik, nyaris melayangkan tinjunya ke wajah Rob, sementara Rob melihatnya dengan ekspresi heran sekaligus kesal.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Drug Dealer (TAMAT)
Romance"Love is a drug, and you ... are the dealer." -Rai Misaki- --- Setelah di-drop out dari kampusnya akibat aktivisme feminis yang ia lakukan, Rai Misaki meninggalkan Jepang dan menjalani hidupnya sebagai imigran gelap di Inggris dengan menjadi pengeda...