Weekend merupakan hari yang paling ditunggu oleh Ayara dan mahasiswa lainnya. Sabtu pagi ini dimulai Ayara dengan membuka kedua matanya pada pukul 11 siang.
Ayara terduduk sejenak untuk mengumpulkan kesadarannya, membereskan kasur dan beranjak ke kamar mandi untuk membasuh wajah dan menyikat gigi kemudian turun untuk mengisi perut kosongnya.
"Selamat pagi, nyonya. Sarapan sudah saya siapkan di meja makan."
"Ini udah siang, Ma."
Ayara melemparkan senyumnya ke arah mama dan abangnya yang sudah menyambutnya dengan sindiran halus.
"Maaf semuanya, tuan putri baru bangun." balas Ayara
Ararya memukul dahi Ayara pelan. "Bukannya mikir."
Ayara segera melangkahkan kakinya ke ruang makan tanpa membalas Ararya, perutnya lebih penting daripada berdebat dengan abangnya itu. Setelah mengambil nasi beserta lauk, Ayara memakannya dengan tenang ditemani mamanya yang sedang mencuci piring.
"Lain kali bangunnya diusahain pagi, Ay." ucap Mama Ayara. "Bantuin mama masak. Emang Ayara gak mau masak bareng sama Mama, gitu? Sekali - kali kita masak bareng biar kayak mama sama anak goals."
"Iya, nanti kita masak bareng ya, Ma. Kalau Ayara udah nikah."
Mamanya memberi cipratan air ke arah Ayara hingga beberapa tetes mengenai nasinya yang tinggal sesuap lagi.
"Ma, kena nasi aku tau."
"Gak papa, biar gak seret pas nelen."
Ayara memajukkan bibir bawahnya dan menyuap nasi terakhirnya dengan sedikit terpaksa. Kata Ayara, bukannya apa - apa, ini masalahnya pas mama nyipratin air, sabun nya ikut sedikit. Kalau ia sakit, tersangkanya cuma satu, Mama.
Selesai dengan kegiatan makannya, Ayara membereskan meja makan dan menghampiri mamanya yang masih sibuk mencuci piring.
Ia menyenggol pelan tangan mama nya menggunakan piring yang ia bawa membuat mamanya menatap Ayara heran.
"Nitip." Ayara menyerahkan piringnya seolah - olah ia adalah seorang pembawa baki yang sedang menyerahkan bendera merah putih untuk dikibarkan.
"Kamu Mama kirim ke Jerman aja, ya. Mama kasihin ke orang Jerman. Katanya dia bersedia ngerawat anak."
"Ih gak mau, nanti aku punya papa dua." Ayara dan mama nya pun tertawa bersama karena candaan yang mereka lontarkan.
Selesai membantu mamanya -walaupun sedikit- Ayara melangkahkan kakinya mendekat ke Ararya yang sedang menonton tv di ruang keluarga. Ia mendudukkan dirinya tepat disamping abangnya.
Ayara mengambil remot di atas meja dan mengganti siarannya. "Kebiasaan lo, bang ngidupin tv tapi mata ke hp."
"Ay, jalan kuy." Ararya membahas topik lain dan tidak menghiraukan ucapan Ayara.
Bukannya memberi jawaban, Ayara malah merespon ajakan Ararya dengan memberi tatapan curiga, seakan tersirat di matanya sebuah kewaspadaan, ada apa nih.
Ararya mengusap wajah adiknya sedikit kasar. "Berburuk sangka terus lo sama gue."
"Ya lo kan biasanya cuma bisa bikin gue kesel doang." ungkap Ayara
"Mana ada, gue sering jajanin lo."
"Jajanin apa? bakso bakar? naget sama sosis yang seribuan? es marimas? Lo mah mau gue sakit." jelas Ayara. "Gaji doang gede, jajanin adeknya makanan pinggir SD."
Ararya tersenyum lebar. "Yaudah makanya jalan sama gue. Ada pasar malem di perumahan sebelah. Ntar gue beliin permen kapas."
"Bener - bener lo mau bikin gue sakit." Ayara memukul lengan Ararya. "Tapi karna gue adik yang baik dan lo abang yang gak punya pasangan malem minggu. Okelah, bawa duit banyak gue mau naikin semua wahananya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cyclamen | Jeno - Heejin
Fanficorang terdekat pun bisa jadi orang asing ya, Kas? - Ayara percaya sama gue, ya? - Kastara ⚠️ Harsh word(s)