8.

18 3 0
                                    

Sepanjang jalan Adam banyak berceloteh. Sedangkan peranku hanya mendengar dan sesekali merespons kecil. Dia bercerita berbagai hal, dari kelakuan adiknya hingga kakaknya.


"Aku ini 5 bersaudara, aku punya 3 kakak perempuan, semuanya kuliah, dan punya 1 adik perempuan kecil yang aku sayang banget. Hehe.."


"Mamaku itu baik, tapi kalo lagi marah, beuh ngomelnya tuh panjang banget. Kaya lagi bikin cerpen aja. Nih coba kamu baca chat aku sama mama aku," Adam menyodorkan ponselnya ke padaku. Aku ragu-ragu menerimanya.


"Udah gapapa, baca aja," ujarnya, seolah tahu apa yang aku pikirkan.


Aku mulai membaca, memang benar kosa kata mamanya Adam sangat bagus. Aku terkagum membacanya. Aku jadi penasaran dengan mamanya Adam secara langsung. Orangnya puitis dan kata adam sedikit melankolis.


"Semua keluarga aku itu orang China, aku aja yang Muslim. Orang tuaku menyerahkan anak-anaknya untuk memilih jalan hidupnya sendiri, termasuk memilih keyakinan. Mungkin aneh ya? Hehe, tapi ya begitu adanya. Meskipun gitu, tingkat toleransi kita itu tinggi banget, gak ganggu ibadah yang lain dan tetap menghargai. Kadang juga aku kebagian ampao hahaha, nanti kuajak kamu deh kalo ada acara ya,"


Pantas saja Adam tampan, dia ternyata orang China. Cukup terkejut mendengar tentang keluarganya yang mempersilakan anak-anaknya untuk memilih keyakinannya sendiri. Aku menyerahkan ponsel Adam setelah selesai membaca chat nya dengan mamanya.


"Oh? Udah dibaca?"


"Udah," jawabku mengangguk.


"Aneh 'kan? Hahaha,"


"Enggak aneh kok, bagus, aku kagum sama kosa kata mama kamu," sanggahku membuat Adam lebih tertawa senang.


"Em, mampir toko sebentar yuk, mau beli ikat rambut," ajaknya, aku hanya mengangguk saja. Toh, motor-motor dia, dia yang mengendarai. Asalkan aku nanti samai rumah dengan selamat saja. Tidak masalah, mampir ke mana dulu.


Sayang sekali, toko yang kami kunjungi belum buka. Sepertinya toko baru, mereka baru saja membereskan barang-barangnya. Namun Adam tetap kekeh ingin membeli sebuah ikat rambut, entah untuk apa.


Ada yang lucu saat di toko itu. Pada saat kami datang, mbak tokonya malah bilang "Maaf mas gak ada uang receh" di situ air muka Adam tidak enak, katanya "Masa orang setampan saya dikira minta duit receh sih mbak,". Ya, cukup narsis memang, namun faktanya memang benar tampan. Mbak-mbak tokonya juga sampai meminta maaf dan terbengong melihat wajah Adam.


"Nih," Adam menyodorkan ikat rambut yang tadi ia beli kepadaku.

"Hah?"


"Buat kamu, maaf waktu pas insiden sepeda, aku tadinya mau ngebalikin ikat rambut kamu yang ketinggalan di cafe, tapi karena aku pelupa, sampe sekarang gak kekembaliin, eh malah ilang. Aku ganti ini, di terima ya, dipake langsung juga boleh," ujarnya menatap mataku penuh binar. Lagi-lagi ku terhipnotis tatapan itu.


Oh, sekarang aku tahu, kenapa Adam tepuk jidatnya sendiri pada saat itu. Aku terima saja ikat rambut pemberiannya, dan mengikat rambutku langsung di depannya. Tidak. Serius. Aku tidak ada niat untuk menggoda atau apa itu, aku hanya refleks memakainya. Entah mengapa.

Aku melirik Adam, masih setia memandangiku dengan senyuman hangatnya yang membuat wajahnya semakin tampan.


"Cantik,"

"Apa?"

"Cantik, dah yuk, naik lagi, kita pulang,"


Aku bergeming. Terkejut. Semudah itu dia bilang aku cantik? Perutku mual, serasa ada kupu-kupu di dalam sana yang beterbangan. Aku tersenyum tipis sebelum naik motornya, membelah jalanan kota di sore hari bersama Adam.


TBC...

Yuanfen (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang