"Oh iya," aku membuka tas milikku, mencari sapu tangan biru milik Adam tempo hari.
Kulihat dari ujung mataku, Adam memperhatikanku, masih seperti biasanya. Dengan tatapan yang luar biasa candu untukku. Sedikit tersenyum melihatku kesusahan mencari keberadaan sapu tangan Adam.
"Nih, makasih ya, udah aku cuci juga." ucapku dengan menyodorkan sapu tangan itu, Adam malah menyunggingkan senyumannya lebih lebar.
Adam mengambil sapu tangan biru itu, namun perilaku selanjutnya, sukses membuat nafasku tercekat. Bagaimana tidak? Dia mendekatiku, dan mengelap bekas ludah wanita tukang hina tadi dari rambutku. Lembut. Usapannya sangat hati-hati. Wajah tampannya terlihat berkali-kali lipat makin tampan saat sedang serius seperti saat itu. Wangi parfum Adam yang terkesan kalem dan menyejukkan pun menusuk hidungku dengan sopan.
"Nah, udah." ujarnya mengantongi sapu tangan birunya.
Melihatku yang masih bergeming, Adam melambaikan tangannya di depan wajahku.
"Kok bengong? Haha," tawanya.
"Ah? Oh itu," jujur, aku bingung harus jawab apa sembari menggaruk sebelah pipiku yang sebenarnya tidak terasa gatal sama sekali.
"Haha, kamu mau pulang 'kan?" tanyanya menciptakan topik baru yang kujawab dengan anggukan kepala saja sekenanya.
"Bareng aku ya?"
"...aku gak terima penolakan. Tapi mampir dulu ke sekolah adikku ya, kelasnya siang, jadi jam segini pasti lagi istirahat, aku bawain makanan soalnya, sekalian ngenalin kamu juga. Hehe,""Mau ya?"
"Yaudah, boleh.." jawabku. Lagi pula di rumah juga mau apa? Paling tidur. Sekalian saja, aku 'kan memang agak penasaran dengan keluarganya Adam.
Sepanjang perjalanan menuju sekolahan adiknya Adam, orang itu tidak pernah kehabisan topik pembicaraan. Pembahasan pada kali ini adalah tentang tujuan kuliah.
"Ya gitu, paling aku kuliah buat dapetin ilmu untuk menjalankan perusahaan Babaku nanti, kalo kamu? Kuliah juga? Atau kerja?"
"Aku kuliah Insya Allah. Udah daftar SNMPTN juga sih, doain ya semoga aku lolos seleksi," jawabku membuat Adam bereaksi kagum dan mengaminkan ucapanku.
"Aamiin, hebat! hebat! Ngambil jurusan apa, btw?"
"Aku ingin jadi guru BK,"
"Kenapa?" tanya Adam sedikit melirikku dari kaca spion motor.
"Selama aku sekolah, kuperhatikan, murid-murid selalu takut dan enggan untuk sekedar berkomunikasi dengan guru BK. Padahal guru BK tidak se-menyeramkan itu. Tugasnya juga enggak melulu ngurusi kenakalan para murid. Namun emang pada dasarnya aja udah ke-cap galak, jadi begitu..."
"...Aku pengen aja jadi guru BK yang bisa berkawan baik sama para murid di sekolah. Mengarahkan, membantu mencari solusi, merangkul mereka, selayaknya sahabat. Bukan sekedar menghakimi aja, tanpa diberikan arahan. Gak memandang latar belakang keluarga atau perlakuan mereka. Karena, mereka semua sama, mereka membutuhkan kelembutan, kasih sayang, dan pengertian. Kalo dihakimi dengan keras, mereka gak bakalan luluh-luluh. Malah makin keras dan menutup. Pikirku sih gitu. Hehe," jawabku panjang lebar diakhiri dengan kekehan kecil.
"Woahh, bagus itu! Niat kamu mulia tuh. Harus terwujud loh ya," respons Adam sesekali menengok ke belakang, ke arahku.
Entah kenapa aku nyaman bercerita padanya. Respons yang Adam berikan setiap aku berbicara itu sangat baik. Kadang aku sering kelepasan ngomong panjang. Adam orang yang cukup cepat tanggap dalam memahami inti dari apa yang aku bicarakan. Dia tidak lemot.
Tbc...
KAMU SEDANG MEMBACA
Yuanfen (✓)
Teen Fiction(short story) Yuanfen = hubungan yang ditentukan oleh nasib dan takdir. Tentang Sena dan Adam yang dipertemukan takdir lewat tugas drama pada saat masa sekolah. - Yuanfen (COMPLETED) ©RSMWRN 2021 -