11. Menemani Alina

274 65 29
                                    

Hari minggu seperti ini seharusnya menjadi waktu bersantai bagi semua orang bukan? Tetapi, tidak untuk Alina. Ia menyibukkan dirinya dengan berbagai kegiatan sebagai satu cara agar ia tidak terlalu terpuruk dan berlarut-larut dalam kesedihan mengingat Mark.

Ayah Alina sudah mengetahui kabar buruk ini. Ayahnya sama seperti Alina tidak percaya kabar tersebut, Mark yang sudah dianggap seperti anaknya sendiri meninggalkannya lebih cepat dari yang ia duga dengan cara tragis.

Unaya menginap di apartemen Alina untuk menemaninya. Alina tidak bisa tidur semalaman, melamun sepanjang malam, dan pagi ini yang Alina lakukan adalah bersih-besih apartemen padahal yang Unaya lihat apartemen Alina sudah sangat bersih dan rapi. Alina melakukan hal yang sama dari selama satu jam, dari Unaya bangun tidur sampai Unaya selesai sarapan yang Unaya lihat Alina sedang bersih-bersih apartemen. Unaya jengah, akhirnya mendekati Alina mengambil alih sapu yang berada di tangan Alina. Wajah Alina benar-benar pucat dan tatapannya kosong.

"Istirahat sekarang. Duduk. Lo bisa kelelahan kalau gini." Pinta Unaya.

Alina menggeleng pelan dan mengambil sapunya lagi, tetapi Unaya menjauhkan sapu tersebut dari Alina. Alina tidak menyerah begitu saja, ia mengambil kain lap untuk membersihkan alas meja. Unaya menghela napas, ia tidak tega melihat Alina terus-terusan seperti ini. Unaya mengambil kain lap dari Alina.

Alina malah berpindah ke tempat cuci piring, meletakkan semua piring, gelas, sendok, dan peralatan makan lainnya yang masih bersih ia letakkan di wastafel untuk ia cuci kembali. Unaya meneteskan air matanya.

"ALINA SADARR. Tolong jangan begini. Ikhlaskan Mark, Al. Dia udah tenang di sana." Ucap Unaya memegang kedua bahu Alina.

"Al, gue tahu lo sedih, gue tahu lo merasa benar-benar kehilangan, tapi tolong jangan begini. Lo mau terus-terusan seperti ini hm? Apa dengan begini Mark bisa kembali? Nggak Al. Kita ga ada yang tahu takdir kita seperti apa, sama hal nya dengan Mark. Dia udah bahagia di sana, udah tenang di sana, Tuhan lebih sayang Mark. Gue mohon." Unaya tak kuasa menahan air matanya.

Alina mendengar tangisan Unaya yang tadinya menunduk sekarang Alina menatap Unaya.

"G-gue harus gimana kak? Setiap saat gue selalu ingat Mark, gue kangen sama dia. Biasanya selalu ada kabar dari dia setiap saatnya. Tapi s-sekarang? Nggak ada. Gue merasa hampa kak. Gue merasa bersalah udah marahin dia waktu itu. Semalaman gue ga bisa tidur karena mimpi buruk yang selalu nyelimuti tidur gue. Tolong bantu lupakan Mark, kak."

"Alina lo ga harus lupain Mark, cukup ikhlaskan dan kenang. Kenang Mark pernah menjadi sosok yang hadir membawa warna di kehidupan lo. Manusia ga luput dari kesalahan, jadi tolong jangan salahin diri lo tentang kematian Mark. Gue yakin perlahan lo terbiasa dengan keadaan ini tanpa Mark." Ucap Unaya.

Unaya memeluk Alina erat. "Setiap harinya ada aja Al yang meninggalkan dunia. Jadi, bukan lo doang yang berduka. Tetapi, beberapa orang yang ditinggalkan kuat menghadapi itu. Anak kecil sekalipun yang sudah ditinggal orang tuanya dari kecil, ia tumbuh dengan kuat dan menerima takdir itu. Lo harus menerima takdir ini, udah jalannya. Ikhlas ya."

Unaya tidak mendengar tangisan Alina lagi, Unaya merasa Alina tertidur di pelukannya kini. Unaya sedikit tersenyum, akhirnya Alina tidur. Semalaman Alina tidak tidur, yang Alina lakukan mengerjakan pekerjaannya dan malah menyuruh Unaya tidur saja tidak perlu menemaninya.

Unaya membawa Alina yang masih dalam pelukannya ke kamar dengan langkah yang pelan agar tidak membangunkan Alina.

Setelah membawa Alina ke kamar, Unaya ke dapur untuk memasak tetapi, saat membuka kulkas tidak ada apapun bahan yang bisa dimasak.

Ting..tong (Bel apartemen Alina berbunyi)

Unaya membukakan pintunya dan mempersilahkan masuk ke dalam, lalu menutup kembali pintu itu.

ALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang