PART 11

11 0 0
                                    

Cahaya mentari sudah menembus tirai kamar Revan. Namun, Revan masih saja enggan untuk bergerak bangun dan justru malah memperbaiki posisi selimutnya.

"Akan ada pelayan yang menyiapkan sarapan, kau tenang saja. Setelah mengisi perut, aku akan mengantarmu pulang."

Tak ada jawaban yang terdengar. Revan menggerakkan tubuhnya sejenak, lalu membuka matanya perlahan.

"Dayana?!" pria itu tersentak, ia langsung mendudukkan tubuhnya sambil mengabsen setiap sudut kamar mencari keberadaan Dayana, yang kini sudah menghilang di sebelahnya.

Semalam, Revan dan Dayana memang tidur di atas ranjang yang sama. meskipun mereka tak melakukan apapun, selain tertidur.

"Dimana dia?" Revan lantas menurunkan kakinya dari ranjang. pria itu melangkah cepat, karena rasa cemas dan penasarannya mampu menekan rasa kantuknya. "Dayana..." Ia memastikan keberadaan Dayana di dalam kamar kecil, Namun. hasilnya tetap nihil, Dayana sama sekali tak berada di sana.

Revan bergegas turun mencari Dayana keluar kamar, dari lantai dua tepatnya di pembatas sisi tangga. Revan menyorot aktifitas yang terjadi di bawah. Ia bisa melihat jelas, sang pelayan paruh waktu ada dan sedang menyiapkan sarapan.

"Zola, apa kau melihat seorang gadis keluar dari kamarku?"

Zola sang pelayan yang kini sudah beranak dua pun menganggukkan kepalanya seraya menjawab, "Dia pergi satu jam yang lalu. saat aku bertanya, dia tidak menjawabnya. Ku pikir dia adalah kekasih Tuan muda, itu sebabnya aku tidak banyak bicara."

Bukan kali pertama bagi Zola melihat seorang wanita keluar dari kamar Revan. bahkan hal itu sudah menjadi sebuah kebiasaan, meskipun setiap kali ia melihat atau berpapasan dengan salah satunya, itu semua hanya akan menjadi pertama dan terkahir. karena Revan selalu mengganti wanita setiap minggunya.

"Dia sangat kejam," gumam.Revan berdecak kesal.

Bagaimana tidak? padahal Revan sudah mengerahkan segala kemampuannya dalam menarik perhatian dalam menaklukan wanita. Namun, Dayana sama sekali tak memberikan reaksi atas perhatian yang terus saja Revan berikan.

Di tempat lain, Dayana terus saja berdiri di depan pintu kediaman rumah seseorang. rumah megah, dengan warna pilar yang membuat hunian tersebut berkesan klasik.

"Siapa pagi-pagi begini sudah datang?" wanita paruh baya yang bergumam sambil membuka pintu tersebut lantas terperangah, setelah melihat Dayana ada di depan matanya, "kau..."

"A... Aku..." keseimbangan Dayana mulai tak terkontrol, tubuh lemahnya hampir ia jatuhkan di hadapan Megi yang kini berstatuskan sebagai Ibu tirinya.

Bruakk... Dayana kembali melemah, tubuhnya terkulai dan hampir jatuh dengan Megi secara bersamaan.

"Dayana... Kenapa kau? Apa yang terjadi padamu, sayang?" tanya Megi di rundung kecemasan, ia lantas memanggil Darwin sang suami guna meminta pertolongan. "Pahh, tolong Mama, Dayana pingsan."

Sebelumnya, saat sedang dalam perjalanan. Dayana sempat berpikir, apa ini akhir hidup yang ia inginkan. Jatuh sakit untuk menarik perhatian semua orang. dan setelah itu Dayana akan meninggal untuk membuat semua orang menyesal.

Meskipun takut, Dayana masih mengharapkan itu terjadi.  Ia juga khawatir, jika Darwin akan menyuruhnya pulang. Begitu Dayana datang.

Gadis cantik itu memang belum sempat mengatakan apapun pada Revan. Ia lebih memilih pergi dari awal, meskipun sebelumnya Dayana sempat memejamkan matanya. walau pun hanya sesaat saja.

"Ke.... Kenapa? Apa yang terjadi pada Dayana?" tanya Darwin sambil meraih tubuh sang putri lalu mengangkatnya.

"Entalah, saat Mama membuka pintu dia langsung jatuh."

Darwin langsung membaringkan tubuh Dayana di atas sofa. sedangkan Megi sang istri langsung memanggil Dokter untuk menangani apa yang sedang Dayana derita. sebab, sebelumnya Megi merasa ada sedikit hawa panas, menyengat dari tubuh Dayana menyambar ke dirinya.

"Suhu tubuhnya cukup tinggi, wajahnya juga sangat pucat." sejenak Darwin menepuk wajah Dayana, sambil sesekali menyingkirkan rambut halus yang menutupi wajah anak gadisnya. "Apa Nilam tidak mengurus mu, dengan baik Dayana?" tanya Darwin penuh kecemasan.

Sadar akan Darwin yang sekarang mulai membatasi uang jajan Dayana. Pria itu mulai merasa bersalah. Akan tetapi ia tak bisa berbuat banyak, saat usahanya kini justru sedang di hadapkan dengan beberapa hambatan.

"Dayana, sayang. Sadarlah Dayana," ucap Darwin berusaha menyadarkan Dayana.

"Ini, Pah." Megi lantas datang menghampirinya, dengan membawa sebuah handuk kecil yang biasa mereka gunakan untuk mengompres badan. sebagai pereda panas tradisional.

Darwin langsung meraihnya, menempelkan handuk basah itu ke wajah Dayana. sesekali Darwin menyeka air mata yang mulai turun, tanpa terasa. sepertinya, Dayana kini memang sedang berada di alam bawah sadar. Ia larut dalam penekanan yang terus-terusan menyiksanya dengan kesedihan.

Jerat AsmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang