New Born

187 12 0
                                    

Mebuki Senju membuat baju bayi bewarna merah. Dia menimangnya, mengayunkannya seolah itu adalah anak perempuannya.

"Ibu akan membuatkan kaos kaki dan pita yang sama." Dia tersenyum gembira.

Mebuki lantas menyimpannya kembali ke dalam kotak yang di simpannya di bawah tumpukan baju. Menguncinya bersama surat terakhir dan benda-benda dari Rasa. Dia memandang perutnya di pantulan cermin kamarnya. Terlihat sedikit menonjol, hanya sedikit. Usia bayinya mencapai 3 bulan. Tapi karena postur tubuhnya yang tinggi kehamilan itu hanya dia yang tahu. Tanpa gangguan berarti. Dia juga tidak mengalami mual-mual atau  gejala lain pada ibu hamil muda pada umumnya.

"Anak pintar." Dia tersenyum.

Pintu di ketuk, Mebuki dengan tergesa membenarkan bajunya. Sebisa mungkin menyembunyikan kehamilannya.

"Nona, makan malam sudah siap. Tuan menyuruh nona untuk segera turun."

"Baik, aku segera kesana." Mebuki mematut penampilannya lagi di depan cermin. Dia siap. "Ada lagi pesan untukku?"

"Nyonya meminta nona berdandan rapi. Karena di bawah ada tuan Kizashi."

Mebuki mendecih.

Ayahnya memang bersikap netral. Tidak memihak siapapun juga tidak sekolot orang kaya lainnya. Dia menyerahkan urusan asmara Mebuki sesuai keinginannya. Keberadaan Kizashi disini pun dianggapnya tidak lebih dari kunjungan rekan bisnisnya. Baginya selama pria itu pantas mendampingi putrinya, dirinya tidak ambil pusing.

"Ayah, ibu, Tuan Haruno, selamat pagi." Sapanya.

Ayahnya membalas dengan anggukan meski matanya tidak meninggalkan surat kabar yang dia pegang. Ibunya berdeham dengan anggun. Mengisyaratkan kepada Mebuki agar menanyakan kabar Kizashi. Meski ingin mendesis Mebuki tetap berusaha menjaga raut wajahnya.

"Bagaimana kabar anda tuan?"

"Aaa ... Lebih baik dari yang ku harapkan, terimakasih sudah menanyakan. Bagaimana kabarmu?" Kizashi tersenyum ramah.

Mebuki meremas garpu yang di pegangnya. Mendadak muak menyergapnya, sekuat tenaga dia membentuk senyum hingga pipinya terasa sakit.

"Sangat baik tuan."

"Kita tidak terpaut jauh Mebuki, santai saja."

Pipinya tertarik halus, "tentu tuan Haruno."

Tak.

Ibunya mendengus, gelas di tangannya hampir pecah jika dia tidak punya pengendalian yang baik sebagai keluarga bangsawan lama. Mebuki mengangkat alisnya. Tampak tak terlalu peduli dengan atmosfer yang tercipta. Mengelus pelan perutnya yang membawa buah cinta nya, berdoa semoga tidak ada dari sifat jelek keluarganya yang menurun pada anaknya.

Ayahnya menurunkan koran untuk mengurai ketegangan di antara istri dan anaknya.

"Bagaimana dengan pembebasan lahan di distrik Fuso. Ku dengar dari ayahmu kau mendapat sedikit kendala?"

Kizashi mengangguk. "Ada beberapa orang yang menuntut ganti rugi terlalu banyak. Juga meminta kami merelokasi beberapa bangunan panti asuhan. Distrik miskin seperti itu seharusnya sudah cukup bersyukur mendapatkan ganti rugi yang lebih dari semestinya."

"Menurutku tidak ada salahnya dengan relokasi. Mereka orang miskin, tapi juga penduduk dengan tekad yang alot. Mereka tidak akan tunduk pada uang karena terbiasa hidup dengan keras. Jika membangun panti asuhan bisa memancing mereka kenapa tidak? Kita sedang berebut waktu dengan pemerintah, jika pemerintah memutuskan menarik tender yang sudah takken, maka sia-sia waktu yang kau gunakan."

"Menjijikkan." Ibunya meletakkan gelasnya. Mengelap bibirnya dengan anggun, menatanya sesuai etika. "Ini akibatnya memilih rakyat jelata yang tidak punya sopan santun."

Mebuki tidak mengatakan apapun, sekalipun dia sudah lebih baik dari beberapa tahun lalu sebelum mengenal Rasa, tapi dominasi dari ibunya tetap bukan hal yang mudah untuk di taklukan.

"Tidak ada yang salah dengan Kizashi. Harusnya kau mampu menggunakan kepalamu. Dia tidak melakukan apapun yang merugikan."

Faktanya memang begitu. "Tidak ada yang salah dengan kehadiran tuan Kizashi. Pun dengan apa yang aku katakan ibu."

"Inilah jika hanya tahu berlindung di belakang ayahmu, memanjakan mu. Memang benar kata mereka, tidak ada yang lebih baik dari Tsunade."

Rasa karat di bagian bibirnya karena tak sadar tergigit. Terasa sedikit perih, masih lebih perih hatinya. Mebuki memejamkan mata. Tidak apa-apa. Hanya perlu untuk menunggu Rasa.

Meski ibunya membencinya, meski ibunya tidak peduli padanya, masih ada ayahnya. Masih ada janji Rasa yang membuatnya bisa menunggu.

Tapi sampai kapan?

1 Hari.

1 Minggu.

1 Bulan.

2 Bulan.

3 Bulan.

6 Bulan.

Sampai kehamilannya tidak bisa di sembunyikan.

Sampai ayahnya meninggalkannya karena kecelakaan.

Sampai tidak ada yang tersisa dari perasaanya.

Andai saja, Mebuki tidak bersikeras menunggu janji Rasa yang tidak pasti. Andai saja, dia tidak terjebak dalam ironi cinta kacangan seperti ini. Andai saja, dia tidak mempertahankan bayi yang membawa aib keluarganya. Ayahnya tidak akan bertengkar dengan ibunya dan berkendara dengan gila. Tsunade yang dia kagumi tidak akan terenggut kebahagiaan karenanya. Ayahnya tidak akan meninggalkannya selamanya.

Sekarang hanya dia disini. Berdiri tak bergeming, kokoh seolah kakinya di paku, menatap gundukan tanah dengan kosong. Dia seperti mati rasa, jambakan ibunya terasa sakit, tapi tidak menyentuh hatinya. Seperti tamparan Tsunade yang menghakiminya, rasanya sakit, tapi tidak menghancurkannya.

Dia hanya mematung, berdiri dengan perutnya yang membesar. Tidak ada siapapun, tidak ada Rasa, tidak ada kebahagiaan, tidak ada janji semu yang menunggu di wujudkan. Hanya rintik hujan dan langit gelap.

Seharusnya Mebuki memang tidak pernah bermimpi, rumah kecil yang hangat, kebun bunga dan sayuran yang subur, anak-anak yang berlarian, pria berambut merah darah yang membawa buruannya. Semua hanya untuk hal itu, Mebuki mengorbankan banyak hal.

Mimpi itu, mimpi mereka berdua, seolah luruh dengan derasnya air hujan yang membasahinya. Mengaburkan pandangannya, menyamarkan tangisannya. Semua bagian dari Mebuki yang naif sudah tersapu habis.

Mebuki mendecih. Mentertawakan dirinya yang begitu bodoh. Sangat keras hingga menggema di kepalanya.

Seharusnya memang tidak pernah bertemu. Semua misteri tentang Rasa seperti bunga tidur di sore hari, terkubur bersama bersama jasad yang ayahnya, menyimpan sejuta perjanjian yang hanya mereka berdua dan Tuhan yang tahu.

Meninggalkannya.

TBC.

RapunzelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang