Lonely Woman

362 24 2
                                    

Tokyo. 20 November 1997

Haruno Mebuki pernah jatuh cinta. Saat itu, di usia enam belas tahun mereka bertemu. Di tengah guyuran hujan deras di emperan kedai es krim. Mebuki melihatnya. Pria dengan jaket parka bewarna abu-abu yang basah kuyup dan kedinginan. Hanya sepintas, ketika dia melihat rambut merah darahnya dialiri air hujan menetes dari ujungnya. Saat itu dia tidak tahu. Kemana takdir akan membawanya. Pria itu tidak mengatakan apapun. Hanya balas meliriknya dengan wajah memerah seperti seseorang yang demam.

Sepuluh menit berlalu. Dan Mebuki masih memandangi pemuda itu dengan sembunyi-sembunyi sambil menunggu mobil keluarga Senju. Peraturan keluarga bangsawan yang begitu ketat membuatnya nekat mencuri waktu di sela pulang sekolah hanya untuk menikmati es krim yang banyak di bicarakan teman sekelasnya. Seumur hidup Mebuki baru kali ini merasakan es krim dari kedai pinggir jalan yang kata ibunya tidak pantas di nikmati keluarga bangsawan seperti mereka. Dan untuk pertama kali, Mebuki melanggar perintah ibunya dan dia sama sekali tidak menyesal.

Lima belas menit berlalu. Mebuki mulai gelisah. Sambil mengetuk-ngetuk ujung sepatunya, dia menggigit bibirnya cemas. Bagaimana jika ibunya akan membuangnya karena ini. Tidak menjemputnya bahkan mengakuinya anak? Itu sangat mungkin terjadi karena masih ada Tsunade. Kakaknya yang bersekolah di luar negeri punya segala kriteria putri yang diidam idamkan ibunya. Kehilangan Mebuki bukan masalah untuk keluarga Senju.

Mebuki terisak kecil, ketakutan menjalari tubuhnya hingga menggigil. Dia tidak punya siapapun di dunia ini. Dan satu-satunya hal yang diinginkannya adalah mendapat pengakuan setara dengan kakaknya. Dia berusaha keras menyamainya, berusaha belajar mati-matian hingga mengorbankan seluruh masa mudanya untuk bimbingan belajar dan ketrampilan. Apa yang harus di lakukannya jika keluarga Senju membuangnya.

"Hei. Kau kedinginan ya." Pemuda itu bertanya dengam suara sopran. Membuat Mebuki mendongak dengan wajah basah air mata.

Dia menggeleng lemah. Kembali memandangi ujung sepatunya yang basah.

Pemuda itu menghela lelah dan mendekatinya. Menyampirkan jaket yang dia pakai di bahu kecil Mebuki sambil mengulas senyum di bibirnya yang membiru.

"Pakailah. Kau bisa mengembalikannya kapan-kapan. Gadis manis sepertimu tidak boleh jatuh sakit." Ungkapnya dengan gigi bergemeletuk kedinginan.

Mebuki tidak tahu harus memasang wajah seperti apa. Ini pertama kalinya dia bertemu seseorang yang memandangnya dengan atensi penuh tanpa ada maksud lain. Benar-benar melihatnya sebagai Mebuki.

"Aku ingin mengantarmu pulang. Tapi aku tidak mungkin membiarkanmu kehujanan."

"Tidak apa." Jawabnya lemah di sertai gelengan kecil.

"Suaramu indah. Aku suka matamu."

Kata-kata frontal itulah yang membuat wajahnya bersemu semerah tomat. Belum sempat mengucapkan apapun, bunyi klakson yang ditekan berulang-ulang mengalihkan atensinya. Ibunya berdiri di seberang jalan sambil memandangnya dingin.

Mebuki menerobos hujan tanpa menoleh ke belakang atau mengucapkan sesuatu. Meski begitu samar-samar dia mendengar pemuda itu berteriak.

"Namaku Sabaku Rasa! Di pertemuan selanjutnya aku pasti akan tahu siapa namamu!"

Mebuki sudah menyebrang jalan dengan ditemani derasnya hujan yang membuat siapapun kedinginan. Tapi Mebuki merasa hangat. Genggamannya pada jaket usang yang menyelimutinya membuatnya tetap hangat.

"Bodoh."

Memang bodoh Mebuki merasa saat itu. Dia tidak tahu di mana rumah atau informasi apapun selain namanya Sabaku Rasa. Di mana dia tinggal, dimana dia bersrkolah. Atau hal lainnya yang membuatnya dapat bertemu kembali dengan pria itu.

RapunzelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang