Dalam Pengawasan

2.6K 127 4
                                    

Setelah kepergian Abeno, persidangan belum berakhir. Keadaan justru menjadi semakin mencekam karena Viviana kini menjadi satu-satunya pesakitan di ruang tamu kecil itu.

"Lihat! Kekasih kecilmu begitu mudah menyerah. Dia lebih memilih pergi meninggalkan kamu daripada harus sekolah di luar negri." Anita merasa di atas angin.

Viviana tidak terprovokasi oleh kalimat mamanya. Dia tahu Abeno pergi bukan karena menyerah tapi hanya tak mau bertindak gegabah. Viviana percaya Abeno tidak akan dengan mudah melepaskan dirinya.

"Mulai saat ini juga, kamu tinggal sama Mama dan Papa. Kemasi barang-barangmu, Mama tunggu."

"Baik, Ma." Seperti halnya Abeno, Viviana juga tak mau terlalu frontal melawan mamanya. Viviana ingin mengikuti dulu skenario mamanya sambil memikirkan jalan keluar yang terbaik.

Viviana mengemasi pakaian seadanya, buku-buku, dan beberapa barang lain yang sekiranya penting. Tak banyak yang ia kemasi karena di rumah mamanya, barang-barangnya juga masih banyak.

Setelah selesai mengemasi barang-barang, diseretnya koper kecil dengan berat hati. Dia memilih tinggal sendiri karena ingin bebas dari kekangan kedua orang tuanya. Kini ia harus mengucapkan selamat tinggal pada kebebasan itu.

"Udah, Ma."

"Ok. Ayo berangkat."

Belum selesai Viviana mengunci pintu depan rumahnya, Mama Viviana sudah berkata, "Mobilmu gak usah dibawa. Mulai sekarang Mama yang akan antar jemput kamu."

"Apa? Ma, apa ini gak berlebihan?"

"Vivi!" bentak mamanya.

"Ok," ucap Viviana sambil berjalan menuju mobil mamanya.

***

(Rumah Abeno)

Abeno memasuki rumah dengan wajah lesu. Sasa sudah tidak ada di sana, Moreno tampak duduk sendirian di ruang tengah. Abeno berjalan melewati ruang tengah begitu saja, lalu menaiki tangga menuju kamarnya. Moreno yang menyadari kedatangan adik yang ditunggunya itu langsung mengekor di belakang Abeno.

"Ben, lo udah pulang? Gue mau bicara sama lo."

Abeno tidak menolak saat kakaknya itu ikut masuk ke dalam kamarnya. Abeno langsung merebahkan tubuhnya di atas beanbag biru yang terletak di sudut kamarnya. Moreno ikut duduk di atas beanbag lain di samping adiknya.

"Ben, gue mau jelasin sesuatu. Kayaknya lo salah paham deh sama gue. Gue sama Viviana gak ada hubungan apa-apa. Kemarin dia datang justru mau minta bantuan ke gue buat baikan lagi sama lo."

"Gue udah tahu. Gue denger percakapan lo sama Sasa tadi. Gue barusan juga dari rumahnya Vivi."

"Jadi lo udah tahu? Lo udah baikan dong sama Vivi? Syukur deh, ikut seneng gue dengernya. Tapi, kok muka lo masih kusut gitu? Kenapa?"

Abeno menarik napas panjang dan mengembuskannya kasar sebelum menjawab pertanyaan dari Moreno.

"Mamanya Vivi tiba-tiba muncul pas kita lagi pelukan. Mamanya kelihatan gak suka banget sama gue, mamanya lebih milih lo buat jadi menantu kesayangannya. Bete gue, sumpah."

Bukannya berempati, Moreno malah tertawa terpingkal-pingkal.

"Rese banget sih, lo! Sebenernya lo abang gue bukan sih? Adeknya lagi kena musibah malah ketawa."

"Lagian cuma gitu aja kenapa lo harus bete? Lo cemburu karena Tante Anita lebih milih gue jadi mantunya?" Pertanyaan Moreno kembali diakhiri gelak tawa.

"Gue gak cemburu, sorry. Gue jelas lebih ganteng dari lo. Gue kesel aja, mamanya Vivi nganggep gue anak ingusan, bau kencur. Tante Anita sampai bilang kalau gue harus belajar nganggep Vivi itu kakak ipar gue. Trus, Tante Anita pake ngancam gue lagi. Katanya, kalau gue masih nekat berhubungan sama Vivi, Tante Anita bakalan ngadu sama Mami tentang masalah ini."

"Udah deh, Ben. Berarti kesimpulannya, kalian hanya perlu berhubungan diam-diam. Jangan sampai Tante Anita tahu, itu aja. Simple kan?"

Abeno memikirkan ucapan kakaknya barusan, benar juga. Mereka hanya perlu lebih berhati-hati, jangan sampai mamanya Viviana tahu bahwa mereka masih berhubungan.

"Bener kan kata gue? Ntar malem coba lo ke rumah Vivi lagi, kali aja mamanya udah pulang. Gak mungkin kan mamanya mau jadi satpam 24 jam di rumah Vivi?"

Saran dari Moreno cukup membantu melunturkan rasa kesal di hati Abeno. Dia berencana menemui Viviana nanti malam, semoga mamanya gak tiba-tiba muncul lagi seperti sebelumnya.

Namun, tiba-tiba pikiran Abeno dibuyarkan oleh suara handphone dari saku celananya sendiri. Satu pesan masuk dari Viviana.

[Ben, Mama minta aku pindah ke rumah Mama Papa. Sekarang aku di bawah pengawasan Mama. Aku juga dilarang bawa mobil, kemana-mana antar jemput sama Mama.]

"Sial!" umpat Abeno.

"Kenapa?" tanya Moreno heran.

"Nih, lo baca sendiri." Abeno melempar handphonenya ke arah Moreno.

Kembali Abeno mengembuskan napas kasar. Belum juga dia puas menikmati kebersamaan dengan Viviana setelah sempat bertengkar hebat, sekarang mereka harus kembali dipisahkan. Abeno masih menyimpan banyak kerinduan yang belum sempat terobati di dalam dadanya.

"Wah kayaknya Tante Anita gak main-main nih, Ben."

Abeno sudah tak menggubris perkataan Moreno. Dia lebih sibuk meresapi hujaman perasaan rindu yang tiba-tiba terasa begitu menusuk. Dia juga mulai merasa takut kehilangan kekasihnya itu.

Cowok BerondongkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang