Maaf

4.3K 188 8
                                    

Viviana mencoba secepat mungkin membuatkan bubur untuk Abeno. Dia tak ingin cowok itu menunggu lama sambil menahan sakitnya. Beruntung dia memang pandai dalam masalah masak memasak, hingga tangan cekatannya sangat bisa diandalkan.

Tak lama kemudian, Viviana sudah membawakan semangkuk bubur hangat untuk Abeno. Cowok itu terlihat memejamkan mata, masih dengan posisi tidur sedikit meringkuk sambil memegangi perutnya.

"Ben, kamu tidur?" tanya Viviana sambil memegang lengan Abeno dan menggoyangkannya pelan. Tak ada reaksi dari cowok itu.

Viviana mulai panik, jangan-jangan Abeno pingsan. Diletakkannya mangkuk bubur yang dibawanya di atas meja. Digoyangkannya lagi lengan Abeno, kali ini lebih kencang.

"Ben, bangun. Ben! Ben!"

"Apaan sih, Vi? Aku kan lagi sakit, malah digoyang-goyang gitu. Mana sambil teriak-teriak lagi."

"Eh sorry. Aku kira kamu pingsan."

Segera Viviana membantu Abeno agar posisi tubuhnya cukup tegak untuk makan. Viviana menambah bantal sofa di belakang kepala dan punggung Abeno agar cowok itu tetap nyaman. Lalu Viviana mengambil mangkuk berisi bubur buatannya tadi dan menyodorkannya pada Abeno.

"Ini. Makan dulu."

"Vivi, aku kan lagi sakit. Kamu suapin dong."

"Ih, manja banget. Kalau mau makan, tu makan sendiri. Gak mau ya sudah."

Viviana kembali meletakkan mangkuk itu di atas meja dan hendak pergi meninggalkan Abeno. Namun, langkahnya terhenti mendengar suara erangan Abeno yang terdengar sangat kesakitan.

"Akh ... aduh, perutku."

Sebenarnya perut Abeno sudah terasa lebih baik berkat obat yang diberikan Viviana. Dia kini hanya merasa sangat lapar. Abeno mengerang kesakitan hanya untuk mendapatkan perhatian dari Viviana.

Mau tak mau Viviana kembali mengambil mangkuk buburnya dan duduk di sofa yang sama tempat Abeno berbaring. Suapan pertama berhasil didapatkan Abeno dari tangan gadis pujaannya. Diam-diam Abeno mengulum senyum bahagia. Viviana ternyata masih sangat perhatian padanya.

"Vi, kamu marah ya?" tanya Abeno saat isi mangkuknya tinggal separuh.

Pertanyaan macam apa itu? Mereka jelas sudah bukan sepasang kekasih, untuk apa Viviana marah? Dia tidak marah, hanya sakit hati. Sebenarnya Viviana tadi hampir melupakan rasa sakit hatinya, tapi pertanyaan Abeno malah membuat Viviana kembali mengingat adegan mesra Abeno dengan gadis lain. Hatinya kembali terluka.

Baru kali ini Viviana merasa tak nyaman memandang wajah Abeno. Wajah itu hanya mengingatkannya pada kejadian di halaman rumah Abeno tadi. Wajah itu hanya membuatnya semakin sakit hati.

Viviana kembali meletakkan mangkuk berisi bubur di atas meja. Untuk kedua kalinya ia beranjak hendak meninggalkan Abeno. Lagi-lagi Abeno mencegahnya. Kali ini bukan dengan erangan kesakitan, tapi dicekalnya lengan Viviana dan ditariknya agar kembali duduk di tempatnya semula.

"Vi, kamu mau ninggalin aku? Aku kan belum selesai makan. Tega kamu sama pacar sendiri?"

"Pacar? Bukannya kita sudah putus? Kamu sendiri yang bilang putus di bawah pohon Angle Oak. Lupa?"

Skak mat, perkataan Viviana tak bisa dielak. Memang Abeno yang mengucapkan kata putus saat itu. Abeno tak mampu berkata-kata tapi juga masih enggan melepaskan tangannya dari lengan Viviana.

"Ok. Vi, aku minta maaf. Aku mau kita balikan."

"Buat apa kamu minta maaf, Ben? Kalaupun aku maafin kamu juga sekarang gak ada gunanya. Hubungan kita sudah tidak bisa seperti dulu lagi."

"Kenapa, Vi? Apa kamu sudah gak sayang sama aku lagi?"

Viviana tersenyum getir mendengar pertanyaan Abeno. Jelas-jelas Abeno yang sudah bersama gadis lain, bagaimana bisa Abeno justru bertanya apa Viviana sudah tidak sayang lagi sama Abeno?

"Vi, aku masih sayang kamu. Kamu mau kan maafin dan nerima aku lagi? Waktu itu aku bilang putus karena emosi sesaat aja."

"Lalu barusan kamu ciuman sama cewek lain juga hanya emosi sesaat?" Viviana mulai meninggikan suaranya. Ditambah lagi matanya yang melotot memandang lurus ke mata Abeno.

Namun, sikap Viviana justru membuat Abeno tersenyum. Dia melihat aura cemburu yang kental dari ucapan Viviana.

"Kamu cemburu?" kata Abeno sambil tersenyum nakal, menggoda Viviana. Wajah Viviana seketika memerah, dalam hati ia mengakui bahwa dirinya sangat cemburu. Namun, ia tak mau mengakuinya di depan Abeno. Viviana hanya diam tak menjawab pertanyaan Abeno.

"Diam artinya kamu benar-benar cemburu."

Meski hatinya mengiyakan bahwa dia cemburu, tapi mengakuinya di depan Abeno sungguh akan terdengar memalukan. Akhirnya Viviana memilih untuk mengelak.

"Buat apa aku cemburu? Kita sudah putus. Jadi terserah kamu mau ngapain aja sama cewek mana aja. Gak ada urusannya sama aku."

"O jadi kamu ikhlas aku pacaran sama cewek tadi?"

"Kamu mau pacaran sama siapa saja, itu terserah padamu."

Lalu Abeno melepaskan lengan Viviana yang sejak tadi dipegangnya. Abeno bangkit dari rebahannya di sofa. Kemudian dia berdiri sambil berkata, "Sebenarnya aku ingin kita baikan. Aku masih sayang sama kamu, Vi. Tapi kalau kamu gak mau balikan dan mau aku pacaran sama cewek lain, ok. Aku pergi."

Abeno sengaja meninggalkan Viviana. Dia tahu bahwa Viviana sebenarnya hanya cemburu. Viviana tidak akan melepaskan Abeno begitu saja. Dan benar saja, saat Abeno telah sampai di ambang pintu, Viviana berlari menyusul dan memeluk Abeno dari belakang.

"Kalau aku bilang jangan pergi, apa kamu akan tetap di sini?"

Abeno tersenyum mendengar pertanyaan itu. Ternyata benar, Viviana sudah melepaskan ego dan gengsinya. Dia tak akan sanggup melepaskan Abeno.

"Lepaskan, Vi," kata Abeno sambil mencoba membuka kaitan tangan Viviana yang melingkar di tubuhnya.

"Kenapa? Kamu benar-benar mau pergi?" tanya Viviana dengan sedih.

"Bukan. Tolong lepaskan, Vi. Karena aku gak akan ke mana-mana," jawab Abeno sambil terkekeh.

Mendengar hal itu Viviana langsung melepaskan pelukannya dengan kesal. Di dorongnya tubuh besar Abeno agar menjauh darinya. Tapi dorongan lemah itu tak membuat Abeno bergeser satu milimeter pun.

"Kamu nyebelin," kata Viviana sambil berjalan menghambur ke sofa miliknya.

"Aku minta maaf, Vi. Liffi bukan siapa-siapa. Dia pacar barunya Yuan. Kejadian tadi juga hanya sandiwara. Aku mau kamu cemburu, sama kayak aku cemburu sama Moreno."

"Tapi aku dan Moreno–"

"Sstt ... aku tahu. Aku sudah mendengar langsung percakapan Moreno dan Sasa. Aku sudah tahu semua. Jadi, please! Maafin aku, ya?"

Viviana diam sejenak, sebelum akhirnya dia menganggung pelan.

Cowok BerondongkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang