Pagi ini adalah pertama kalinya Viviana akan mengajar. Setelah lulus kuliah, dia dinyatakan diterima menjadi seorang guru di sebuah sekolah swasta. Di sekolah menengah kejuruan itu sebagian besar siswanya adalah laki-laki. Viviana sangat gugup, baru kali ini ia berada di tengah-tengah kerumunan laki-laki.
"Selamat pagi anak-anak. Nama saya Viviana. Kalian bisa panggil saya Bu Vivi. Saya guru baru kalian, menggantikan Pak Pras yang pensiun." Meski gugup, Viviana mencoba tenang dan percaya diri saat memperkenalkan diri di hadapan 24 siswa laki-laki di kelas itu.
"Harus banget ya panggil dengan sebutan Bu Vivi? Gak bisa diganti gitu panggilannya? Bebeb Vivi misalnya," seloroh salah satu siswa. Di bagian dada kiri seragam putihnya tertulis nama 'Rendra'. Beruntunglah semua siswa mengenakan badge nama di dada kiri mereka. Hal itu memudahkan Viviana mengenali murid-murid barunya.
"Atau Vivi sayang aja," sahut siswa lain bernama Nanda yang diikuti gelak tawa seisi kelas.
Viviana menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Dia harus bisa menakhlukkan kelas ini. Dia tidak boleh terpancing emosi.
"Kalian boleh panggil saya dengan panggilan sesuka kalian. Tapi ingat, di kelas ini saya akan memberlakukan sistem potong poin atau poin minus bagi yang bersikap tidak sopan. Dan poin minus pertama saya berikan pada Rendra dan Nanda."
Rendra dan Nanda menepuk dahi tak terima. Ini kelas pertama mereka bersama guru baru ini dan sudah mendapat poin minus. Sungguh sial untuk mereka berdua.
Di sudut kelas itu ada seorang siswa yang memandangi Viviana dalam diam. Dia adalah Abeno. Dia mengamati setiap jengkal tubuh belia Viviana. Wajah imut yang sedikit cubby dan rambut hitam pekat rapi tergulung ke atas. Ditambah mata bulat dan bibir mungil. Satu kata, cantik.
Viviana mengenakan setelan blazer hitam dan kemeja putih di dalamnya. Dilengkapi sepatu hak sekitar 5 cm yang sedikit menolong tubuh mungilnya agar terlihat sedikit lebih tinggi. Bagi Abeno wanita itu berpenampilan sempurna. Imut tapi terlihat dewasa. Menggemaskan sekaligus menggairahkan.
Tampaknya Viviana mengetahui gelagat Abeno yang memperhatikan dirinya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Biasanya Viviana akan merasa risih jika ada yang melihatnya begitu. Tapi kali ini berbeda, dia menikmati tatapan Abeno yang terlihat mengagumi dirinya.
"Baik, kita mulai BAB pertama. Matriks."
Lalu Vivian menuliskan judul BAB tersebut di papan tulis. Ia pun mulai menjelaskan tentang materi itu. Semua mata tertuju padanya. Entah apa yang ada di pikiran para lelaki itu. Apakah mereka memperhatikan pelajaran yang disampaikan Vivian atau sekedar menikmati gerak gerik lincahnya saat sedang menjelaskan.
"Nah, seperti itu. Ada yang mau bertanya?" tanya Viviana mengakhiri pelajaran.
Abeno mengangkat tangan dan berdiri dari duduknya.
"Baik, Abeno. Silakan? Apa yang akan kamu tanyakan?" tanyanya sambil tersenyum.
"Mau gak jadi cewek gue?" tanya Abeno sambil mengerling nakal ke arah Viviana. Sontak seisi kelas riuh melihat sikap Abeno.
Viviana bisa saja langsung memberikan poin minus pada siawa itu jika saja dia bukan Abeno. Entah mengapa ada desir aneh menjalari tubuh Viviana saat Abeno mengerling padanya. Dadanya naik turun menahan desiran itu dengan mengatur napasnya perlahan.
Setelah dia berhasil menguasai diri, dia berkata, "Poin minus untuk Abeno!"
Oh sungguh perkataan tegas Viviana bagai boomerang baginya. Hatinya kembali berdesir kala menyebutkan nama pria itu. Dadanya kembali naik turun, mencoba menetralkan debar di dadanya.
"Baik, jika tidak ada yang bertanya, saya akhiri pelajaran kali ini. PR kalian di halaman 12 nomor 1 sampai 10. Pastikan kalian mengerjakan jika tidak mau ada poin minus di catatan saya. Selamat siang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cowok Berondongku
Fiksi RemajaViviana, guru Matematika yang terkenal tegas dan disiplin. Ia menjadi guru di usianya yang masih muda berkat kecerdasannya. Dia memasuki sekolah dasar di usia belum genap 6 tahun dan di sekolah menengah pun ia mengambil kelas percepatan. Usianya bar...